Wakil Ketua Komnas HAM Stanley Adi Prasetyo menyatakan 3.200 peraturan daerah (perda) di Indonesia bermasalah, karena bertentangan dengan HAM “Kami mengkaji 3.200 perda yang bertentangan dengan HAM dan 900-an perda di antaranya sudah dibatalkan,” katanya di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya, Selasa (27/07).
Ia mencontohkan perda yang dibatalkan antara lain perda larangan pengemis dan anak jalanan di DKI Jakarta, perda (qanun) rajam di Aceh, perda yustisi di berbagai daerah, dan sebagainya.
“Perda-perda itu sebenarnya tidak masalah, tapi perda-perda itu tidak boleh melanggar hak esensi dari manusia. Pengemis dan anak jalanan itu bukan masalah, tapi justru tanggung jawab pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, karena itu tidak boleh dilarang,” katanya menurut Antara.
Sementara itu, hukuman rajam di Aceh juga bertentangan dengan HAM, karena hukuman itu harus mendidik dan bukan justru menyiksa.
“Kalau dibiarkan perda-perda bermasalah itu juga akan dapat mengancam pemberlakuan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang seharusnya menjadi payung hukum bagi semua perda,” katanya.
Namun, katanya, banyak kalangan yang belum melihat UU KIP sebagai “payung hukum” untuk pemberdayaan masyarakat sipil, karena itu ada RUU (Rancangan Undang-Undang) Rahasia Negara, RUU Intelijen, dan RUU Keamanan Negara.
“RUU-RUU dan perda-perda bermasalah itu akan dapat menjadi ‘torpedo’ yang memberangus pemberlakuan UU 14/2008 tentang KIP, karena itu seluruh elemen masyarakat bersama Komnas HAM harus bersatu,” katanya.
Dalam kaitan itu, ia mengaku pihaknya baru saja menerima proposal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan Tifa untuk melakukan uji penerapan UU KIP dalam kasus eksplorasi Blok Cepu.
“Saya sudah mempelajari proposal dari rekan-rekan AJI dan Tifa yang menguji penerapan UU KIP dalam kasus eksplorasi Blok Cepu,” katanya.
Ia menilai pemberlakuan UU KIP memang akan banyak mengalami kendala mulai dari kendala teknis hingga kendala yuridis yang diciptakan lewat jalur-jalur yang seolah-olah resmi.
“Secara teknis, UU KIP perlu kesiapan badan publik yang hingga kini banyak yang belum siap. PU mungkin siap, tapi coba dalam kasus Lapindo, apakah mudah mendapatkan data tentang kandungan gas methan,” katanya.
Atau, data tentang radius tingkat bahaya dari pusat lumpur, apakah rumah dalam jarak 50 meter dari tanggul itu berbahaya atau tidak, apakah rumah dalam jarak tertentu akan aman dalam 10-15 tahun, dan sebagainya.
“Karena itu, uji UU KIP dalam kasus Blok Cepu akan menarik untuk kepentingan UU KIP dan penerapannya di kemudian hari. Saya masih mempelajari proposal mereka,” katanya.
Warga eks pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, Rabu, memperingati 34 tahun integrasi Timor Timur ke dalam NKRI dalam sebuah misa syukur. ...