Mabes Polri menyatakan, penegakkan hukum bagi kasus tindak pidan terorisme masih perlu dibenahi agar menimbulkan efek jera.
Berbicara pada simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta, Selasa [27/07], Kabareskim Polri Komjen Ito Sumardi mengatakan, dalam penegakkan hukum bagi tindak pidana terorisme, kerap masih terjadi perbedaan persepsi tentang apa dan bagaimana terorisme di antara lembaga hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, Antara memberitakan.
“Semisal, kepolisian telah menangkap dan memproses sesorang yang diduga kuat terlibat terorisme. Namun, sampai di kejaksaan atau pengadilan kadang berbeda, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukum yang tidak ada kaitan dengan terorisme atau lainnya,” katanya.
Tak hanya itu, Lembaga Pemasyarakatan pun perlu dibenahi mengingat ada sebagian pelaku justru direkrut oleh kelompoknya di penjara. “Proses rehabilitasi yang diberikan di lapas tidak mencukupi untuk menjadikan terpidana terorisme jera,” ujarnya.
Karena itu, tambah Ito, Mabes Polri pernah mengusulkan agar didirikan lapas khusus bagi para pelaku tindak pidana terorisme. Terkait penegakkan hukum terhaap terorisme, Mabes Polri telah mengirimkan beberapa perwiranya ke Prancis, untuk mempelajari secara komprehensif penanganan dan penegakkan hukum tindak pidana terorisme. Ito mengatakan, di Prancis di masing-masing lembaga hukum memiliki personel yang khusus menangani terorisme.
“Jadi di sana ada hakim khusus terorisme, yang memiliki pemahaman komprehensif tentang apa dan bagaimana terorisme, sehingga penegakkan hukum berjalan efektif dan menimbulkan efek jera,” ujarnya.
Ito menambahkan, di Indonesia terorisme, masih dikategorikan sebagai tindak pidana biasa yang masih ditangani oleh lembaga hukum umum, sehingga penegakkan hukumnya tidak komprehensif dan tidak efektif. Ia mengemukakan, dalam penanganan terorisme ada beberapa langkah yakni pencegahan, penindakan, rehabilitasi.
“Itu saat ini dibebankan kepada Polri. Ini berat. Apalagi yang dilakukan Polri saat ini, baru sebatas tugas pokoknya belum mencapai pada rehabilitasi. Karena itu, perlu ada kerja sama dengan semua pihak termasuk masyarakat dalam penanganan terorisme,” ujar Ito.
Penjara Khusus
Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komjen Ito Sumardi mengatakan perlunya pemisahan penjara teroris dengan pelanggar hukum lainnya.
“Kejahatan terorisme beda dengan kejahatan biasa, kalau dikumpulkan menjadi satu saya khawatir justru terjadi proses regenerasi,” kata Ito Sumardi saat simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, beberapa kasus menunjukan, penjara menjadi tempat yang bisa digunakan untuk merekrut teroris baru. Ia mencontohkan kasus Yuli Harsono, mantan anggota TNI AD yang dipecat dan dimasukkan ke penjara Sukamiskin Bandung karena menjual amunisi.
Yuli di duga direkrut dalam penjara itu oleh Omar Abdurrahman, pelaku terpidana kasus bom Cimanggis Depok 2004. Setelah keluar dari penjara, Yuli diidentifikasi menjadi pengikut teroris dan menyerang kantor polisi yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota polisi setempat.
“Proses rehabilitasi di lapas belum selesai, perlu lapas khusus teroris yang seperti diusulkan oleh Polri,” katanya.
Ia menambahkan, selain itu selama ini masih ada ketidaksepahaman antar penegak hukum. Menurut dia, seringkali para teroris tidak dijerat oleh hukum sebagi teroris namun fakta hukum lainnya. Alhasil, menurut dia para teroris dihukum tidak sesuai dengan pelanggarannya.
“Untuk itu perlu kesepahaman, terutama dengan para hakim yang mengadili terorisme. Kita harapkan mereka yang mengadili ini memahami benar terorisme,” katanya.
Ia menambahkan, saat ini Polri tengah mengirim anggotanya untuk melakukan studi di Prancis terkait dengan penanggulangan terorisme. Menurut dia, para hakim kasus teroris di Prancis memiliki kekhususan dalam memahami terorisme.
Sementara itu, kata dia, beberapa teroris yang telah keluar dari penjara kembali ke habitatnya semula. Beberapa kasus menunjukan mereka masuk kembali dalam jaringannya.
Seperti jaringan Dulmatin yang banyak disokong residivi teroris seperti Encang Kurnia dan Ismet Hakiki yang terlibat dalam pengeboman Kedutaan Besar Australia 2004. Begitu pula dengan jaringan Noordin M Top yang juga disokong residivis teroris seperti Air Setyawan dan Bagus Budi Pranoto alis Urwah.
Warga eks pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, Rabu, memperingati 34 tahun integrasi Timor Timur ke dalam NKRI dalam sebuah misa syukur. ...