Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah


Posted: Oct. 28, 2004 03:26:30 WIB
Presiden-Baru-dan-Hambatan-Pelaksanaan-Ibadah

SUATU kenyataan yang tak bisa disangkal jika kita berbicara tentang identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan, yang bahkan bersifat multidimensional. Kemajemukan suku, ras, etnik, golongan dan agama adalah warna dasar dan napas yang membuat Indonesia memiliki nilai yang unik dan spesifik. Dan siapa pun mengakui hal itu.

Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Menko Polkam dalam ceramah di depan Sidang MPL Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Parapat, Sumatera Utara, 16 November 2001, menegaskan bahwa pluralisme adalah salah satu nilai dasar yang tak boleh dilupakan ketika kita berbicara tentang kerangka bernegara di negeri ini.

Menurut SBY, Indonesia adalah negara yang majemuk. Di satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan, tapi di sisi lain menjadi suatu kerawanan. Itulah sebabnya the founding fathers pertama-tama mengatakan bahwa kita berbeda-beda tapi satu (Bhinneka Tunggal Ika); dan itulah yang mendorong Kongres Pemuda 1928 merumuskan "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa".

Siapa pun yang memimpin di ne- geri ini, kata SBY, elite manapun, partai politik mana pun yang tumbuh dan berkembang di negeri ini, pertama-tama harus menyadari bahwa pluralisme adalah nilai dasar yang harus diadopsi dan diimplementasikan.

Pernyataan SBY tiga tahun yang lalu itu amat penting dan strategis, justru pada saat ini ketika ia telah tampil sebagai presiden terpilih RI 2004-2009 bersama-sama Jusuf Kalla sebagai wakil presiden; dan ketika power berada di tangannya. Apakah ia akan konsisten melaksanakan apa yang ia ucapkan tiga tahun yang lalu itu?

Para anggota MPL PGI yang berhimpun di Parapat, 16 November 2001, memberi apresiasi hangat merespons ceramah Menko Polkam; dan kini mereka sedang menunggu apakah isi ceramah yang sarat dengan pemikiran cerdas dan bernas itu mampu direalisasikan dalam tindak nyata oleh Sang Presiden?

Gedung Gereja

Sikap diskriminatif dan pelecehan terhadap agama dalam berbagai ketentuan perundangan dan yang terwujud melalui bentuk-bentuk praktis seharusnyalah tidak boleh terjadi dalam sebuah Negara yang ber-Pancasila. Apalagi hal itu dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945.

Namun di lapangan, kenyataan sebaliknya yang justru terjadi. Gereja-gereja dan umat Kristiani di Indonesia acapkali mendapat perlakuan diskriminatif dari oknum pemerintah dan sekelompok warga bangsa. Dalam konteks pembangunan gedung gereja dan pelaksanaan kebaktian amat terasa sikap diskriminatif itu.

Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) mencatat bahwa sejak Indonesia Merdeka hingga berakhirnya pemerintahan BJ Habibie 20 Oktober 1999, tercatat 611 gedung gereja yang ditutup, dirusak atau dibakar di seluruh wilayah Indonesia.

Jumlah ini tentu akan bertambah terus setiap hari. Pada 7 Juni 2004 lalu dilaporkan ada empat gereja dirusak massa di Pamulang, Jakarta Selatan, disertai penganiyaan terhadap pendeta dan warga jemaat. Hal yang amat tragis adalah perusakan itu terjadi tatkala warga jemaat sedang melakukan ibadah di gereja tersebut.

Gangguan terhadap umat beragama yang sedang melaksanakan ibadah adalah wujud adanya sikap barbar, arogan dan pelecehan agama dari sekelompok orang yang sulit diterima bisa terjadi dalam Negara yang mengklaim bahwa bangsanya adalah bangsa yang religius. Realitas itu makin diperparah dengan penembakan yang dilakukan terhadap Pendeta Susianti Tinulele di Poso, 18 juli 2004 yang hingga kini belum bisa ditangkap penembaknya.

Lepas dari kemungkinan adanya provokator, politisasi agama dan berbagai analisis lainnya tapi kondisi seperti itu sama sekali tidak memberi rasa aman bagi umat Kristiani pada khususnya untuk melaksanakan ibadah mereka.

Pelarangan ibadah umat Katolik di Kompleks Sekolah Sang Timur - Tangerang belum lama ini, penutupan 12 gereja di Bandung adalah kasus-kasus kctual yang terjadi dan setiap saat dapat berulang mendera dan menyiksa kekristenan di negeri ini. Sementara tokoh-tokoh lintas agama di tingkat nasional melakukan kunjungan muhibah ke luar negeri sembari mempertontonkan kerukunan, tapi pada tingkat grass root kerukunan itu tidak terwujud.

Ironi seperti ini yang acap terjadi di era Orde Baru, mestinya tak boleh lagi terjadi di era SBY-JK. Dalam agenda presiden terpilih, kesukaran umat Kristiani dalam membangun rumah ibadah dan dalam melaksanakan ibadah harus menjadi perhatian serius, jika negeri ini tidak akan jatuh pada bahaya disintegrasi.

Pemerintah tidak boleh berpihak pada salah satu kelompok agama, pemerintah dengan sikap kenegarawanan yang tinggi harus memberi jaminan dan fasilitas agar semua umat beragama betapapun kecil jumlahnya mendapat jaminan dalam menjalankan ibadah agamanya.

Selama ini yang terjadi adalah pengurusan izin membangun gedung gereja amat sulit, bahkan berpuluh tahun tidak diberikan, sementara melakukan ibadah agama di rumah atau di sekolah tidak dijamin kelangsungannya. SKB Menteri Agama dan Mendagri No 01/Ber-MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969, yang selama ini justru menjadi penghalang bagi pembangunan gedung gereja mesti dicabut dan diganti dengan yang baru, yang lebih adil, demokratis dan menghargai kemajemukan.

Tema-tema yang diusung pasangan SBY-JK pada masa kampanye tentang penghargaan terhadap pluralisme, sikap antidiskriminasi, menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa, sudah saatnya diwujudkan melalui kebijakan yang sistemik.

Menarik untuk dicatat pandangan Menko Kesra Jusuf Kalla sehubungan dengan permasalahan seputar pembangunan gedung gereja sebagaimana diatur dalam SKB Menag-Mendagri 1989. Prof Dr H Faisal Ismail dalam bukunya Pijar-pijar Islam, pergumulan Kultur dan Struktur, LESFI, Yogyakarta, 2002, merekam pandangan Jusuf Kalla dengan amat jelas. JK sebagaimana dicatat Faisal Ismail menyatakan bahwa SKB itu masih sangat relevan dan perlu dipatuhi oleh masing-masing komunitas agama di Indonesia.

Di Negara Barat saja, kata Jusuf Kalla, orang membangun mall ada aturan mainnya. Misalnya, antara lain, jarak lokasi pembangunan mall yang satu dengan mall yang lain harus memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi pembangunan mall itu tidk boleh di sembarang tempat/ lokasi yang mereka mau sendiri. Sampai di sini pernyataan Jusuf Kalla masih cukup rasional dan dapat dipahami. Namun dalam kalimat berikutnya. Jusuf Kalla, seperti dikutip Faisal Ismail telah membuat pernyataan yang cukup emosional dan punya dampak yang tidak kecil bagi persatuan bangsa.

Faisal Ismail dalam bukunya itu menulis: "Kalau ada komunitas agama di Indonesia, kata Jusuf Kalla selanjutnya, yang ingin membangun rumah ibadah menurut kemauannya sendiri-sendiri dan tidak mematuhi SKB yang telah mengatur tentang masalah ini, sebaiknya komunitas agama tersebut bertempat tinggal di negara lain yang tidak ada Departemen Agamanya.

Dengan demikian, mereka bisa bebas mendirikan rumah-rumah ibadah di mana saja sesuai dengan keinginan mereka dan tidak perlu terikat dengan aturan semacam SKB yang ada di Negara ini" (Faisal Ismail hlm 208-209).

Memang amat disayangkan pernyataan seperti itu bisa terlontar dari seorang pejabat Negara RI yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Kita berharap para pejabat negara bersikap negarawan dan memahami pergumulan yang dihadapi oleh seluruh umat beragama di Indonesia.

Pernyataan itu memang diungkapkan pada tahun 2001, kita yakin dalam era pemerintahan SBY-JK, pernyataan-pernyataan yang emosional bahkan cenderung mendiskreditkan sesama warga bangsa tidak lagi menjadi bagian dari gaya kepemimpinan SBY-JK.

Rumah Ibadah dan pelaksanaan ibadah umat beragama adalah hal yang paling mendasar bagi setiap umat beragama. Pancasila telah disepakati menjadi dasar negara, dan berfungsi untuk mengayomi kemajemukan agama di Indonesia. Ketika sebagian umat beragama di Indonesia selalu mengalami kesulitan dan diskriminasi yang sistemik dalam Negara ini, apakah Negara RI masih bisa mengatakan bahwa ia negara berdasar Pancasila?

Pak SBY, kami menanti kebijakan Anda dalam menata negeri ini, agar harmoni dan kemajemukan diapresiasi dengan baik.

Weinata Sairin

Next Story : Kardinal Jean-Louis Tauran Kunjungi PGI

Terpopuler

Headlines Hari ini