Pluralisme Keagamaan di Indonesia - II
Oleh: Franz Magnis Suseno
Walaupun konsensus dasar Pancasila –Indonesia milik seluruh bangsa, bukan hanya bagian mayoritas jarang sekali disangkal, namun dalam kenyataan konsensus dasar itu digerogoti dan penggerogotan itu akan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa:
Ada kecenderungan-kecenderungan untuk membangun sekat-sekat diantara warga agama masing-masing (anak dianjurkan tidak bergaul dengan anakberagama atau ber-ras lain; mengucapkan selamat hari raya kepada warga agama lain dilarang, dsb.).
Intoleransi dalam masyarkat terhadap kehadiran orang beragama minoritas bertambah (bahkan sudah ada pemukiman-pemukiman yang khas hanya untk satu agama), kebebasan mereka untuk beribadat tidak dihormati, dalam pengangkatan jabatan-jabatan tertentu identitas agamis diperhatikan, serangan fisik terhadap tempat ibadat umat minoritas terus masih berlangsung dan alat negara tidak memberi perlindungan hukum.
Perda-perda yang bernuansa syariah memaksakan keseragaman salah satu pandangan agama kepada semua penganutnya, bahkan kepada penganut agama lain, padahal dalam negara Pancasila, negara tidak memaksakan kelakukan keagamaan apa pun kepada para penduduk.
Persangkaan bahwa maksud sebenarnya UU Pornografi (apalagi edisi pertama sebagai UU APP) tidak untuk memberantas pornografi (untuk itu sudah ada pasal-pasal dalam hukum pidana), melainkan untuk mematikan segi-segi kebudayaan tradisional yang tidak sesuai dengan pandangan ortodoksi agama, hal itu juga dibenarkan oleh larangan Gubernur Jawa Barat terhadap bentuk jaipongan tradisional yang mengatasnamakan UU Pornografi.
Yang paling gawat adalah penyangkalan kebebasan untuk berkepercayaan dan beribadat menurut apa yang diyakini sebagai jalan Tuhan bagi mereka yang oleh mayoritas dianggap sesat. Bahwa negara bahkan membiarkan tindakan kekerasan berlangsung merupakan sikap yang amat memalukan sekali (perhatikan: kalau badan agama membuat pernyataan tentang ajaran tertentu, bahwa ajaran itu tidak lagi benar dari sudut agama itu-hal itu merupakan haknya; tetapi kalau kemudian kelompok itu diancam, diuber-uber dan dianiaya maka negara melalaikan kewajibannya; negara tidak dalam posisi menilai atas nama Tuhan siapa yang boleh beribadat dan siapa yang tidak, sehingga dinyatakan sesat oleh badan agama yang bersangkutan dapat dibenarkan, tetapi kebebasan mereka untuk berkepercayaan dan beribadat mnurut apa yang mereka sendiri yakini sebagai jalan Tuhan harus tetap dihormati dan dilindungi dengan tegas oleh negara.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa alat negara sering tidak memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok minoritas-minoritas yang diancam oleh massa agamis beringas.
Orang dapat bertanya mengapa hampir 64 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan kesediaan untuk saling menerima dalam identitas masing-masing semakin merosot? Mengapa ada kecenderungan totaliter agamis yang mau memaksakan satu bentuk keagamaan pada seluruh umat tanpa menghormati kemajemukannya?
Pancasila menuntut agar di Indonesia dijamin suasana yang menunjang kehidupan beragama, tetapi sekaligus juga menunjang identitas religius masing-masing umat, kelompok dan aliran dalam masyarakat.
Sangat mendesak bahwa negara, melalui alat-alatnya memastikan bahwa konsensus Pancasila itu tetap terlaksana demi masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Pluralitas bangsa akan menjadi kekuatan apabila semua itu menyumbangkan kekuatan masing-masing secara sinergetis demi kemajuan bangsa, tetapi itu hanya mungkin apabila semua dalam identitas religius khas masing-masing merasa dihormati dan terlindung.
(Beberapa catatan Bag-2 (Akhir) oleh Prof. Franz Magnis Suseno SJ. Disampaikan dalam acara Workshop INKommunity, 25 Juli 2009, di Jakarta)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
**Penulis adalah seorang Rohaniwan Katolik, Budayawan sekaligus Pendidik.
Tanyakan diri anda pertanyaan ini: Apakah musik yang saya dengarkan membawa saya lebih dekat kepada Tuhan - atau apakah musik itu hanya menghibur ...