Para orangtua di New York dan Oregon baru-baru ini menyuarakan keberatan mereka terhadap pihak sekolah yang melarang adanya pohon Natal dan Sinterklas karena dekorasi tersebut dianggap mempromosikan tentang Kekristenan.
Sebuah Sekolah Daerah Minoa di New York, sebelah Timur Syracuse, orangtua murid menerima sepucuk surat tertanggal 3 Desember yang mengumumkan mengenai sebuah program liburan khusus. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa dalam program itu diharapkan adanya penghormatan terhadap perbedaan budaya dan kepercayaan berbagai macam keluarga dan untuk itu akan dilakukan pembatasan terhadap “program yang lebih menonjolkan satu tradisi tertentu” untuk ditampilkan di luar jam sekolah. Sedangkan, apabila diadakan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, sifatnya juga harus sukarela dan tidak tidak boleh mendapat dukungan dari sekolah daerah itu.
Salah seorang orangtua murid, Patti Puma, yang keempat anaknya bersekolah di sekolah daerah, menanyakan kepada Wakil Superintendent Dr Thomas Neveldine tentang larangan baru tersebut. Menurut Christian legal group Liberty Counsel, Neveldine dalam laporannya dikatakan bahwa Sinterklas (Santa Claus), dianggap sebagai simbol sekular, dan tidak diperbolehkan karena aslinya dia berasal dari cerita mengenai St. Nicholas.
Para orangtua murid dan warga berencana menyampaikan keberatan mereka kepada dewan sekolah Senin mendatang dan menentang adanya larangan pembatasan Natal. Para orangtua juga telah mulai mengajukan petisi untuk meminta perayaan Natal kembali seperti sebelumnya.
Sementara itu, di Oregon, Principal Michelle Zundel dari Bellview Elementary School di Ashland telah menyingkirkan pohon Natal dan Sinterklas dari sekolah pasca usainya perayaan Thanksgiving dan menggantinya dengan dua boneka salju. Menurut laporan, Zundel mengatakan beberapa orangtua telah mengeluhkan tentang pohon Natal tersebut, yang juga menyarankan untuk memberikan hadiah-hadiah kepada anak-anak yang memerlukannya.
“Pohon Natal, meskipun dianggap sebagai simbol sekular, tetapi merupakan simbol Natal, menurut Mahkamah Agung, dan apabila anda masuk ke sebuah sekolah negeri dan keluarga anda tidak merayakan Natal, maka hal itu akan terasa sebagai simbol agama,” ujar Zundel, menurut Liberty Counsel. “Sebuah boneka salju dibuat oleh anak-anak saat mereka bermain salju, dan itu bukanlah menyimbolkan agama tertentu.”
Menanggapi aksi Zundel, puluhan orangtua murid yang kecewa memprotes pemindahan pohon Natal, dan mendesak Zundel agar mengembalikannya pada hari Rabu.
"Persoalan tentang ada atau tidaknya pohon Natal sudah ditetapkan,” ujar Zundel pada sebuah pertemuan komunitas pada Selasa malam, menurut Ashland Daily Tidings. “Kami akan memiliki sebuah pohon Natal.”
Zundel mengatakan dia berubah pikiran setelah mendengar ratusan orang dari seluruh negara memprotes keputusannya.
“Semoga para pendidik memeriksa kembali liburan mereka dan menikmatinya pada 25 Desember,” komentar Mathew D. Staver, pendiri Liberty Counsel, dalam sebuah pernyataan pada Rabu. “Bukankan seorang dengan sedikit pengertian tidak akan mempersoalkan perayaan Natal dari kedua aspek, baik dari aspek rohani maupun aspek sekuler?”
Liberty Counsel telah bergabung dengan Asosiasi Pendidik Internasional (Educators Association International ) pada Kampanye tahunana Friend atau Foe Christmas yang ketujuh, yang bertujuan untuk mendidik dan, jika diperlukan, berperkara untuk menegaskan pandangan tentang Natal tidak diamati dari sudut pandang agama.
“Sensor tentang Natal hanya dari sudut pandang agama, atau menganggap bahwa Natal tidak ada, akan memicu permusuhan agama, yang dengan jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar,” Jelas Staver.
Stop the Traffik dan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memobilisasi kaum muda dalam sebuah kampanye global untuk mengakhiri perdagangan manusia. ...