Rasanya sulit dipahami akal sehat, di sebuah negara yang mengaku "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai raison d'être-nya, pembangunan rumah ibadah justru jadi masalah yang sangat pelik dan merepotkan banyak pihak. Begitu pelik dan merepotkan, sehingga banyak orang layak bertanya-tanya: Mengapa izin membangun rumah ibadah jauh lebih sulit diurus ketimbang membangun diskotek atau night club? Sebenarnya apa yang salah dengan rumah ibadah?
Celakanya tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan yang sederhana itu. Di balik persoalan yang tampaknya sepele-coba, apa sulitnya membangun sebuah tempat yang, kemudian, dipakai sebagai rumah ibadah, sesuatu yang jauh lebih mulia ketimbang tempat maksiat-justru terselip rajutan berbagai soal yang bagai benang kusut, mulai dari ketidakpahaman (dalam artian ignorance), pengalaman marjinalisasi yang menyakitkan, riwayat dendam dan permusuhan berabad-abad, sampai kepentingan dan kalkulasi politik maupun ekonomi sesaat.
Esai ini tidak berpretensi mau memberi penyelesaian-saya curiga, penyelesaian menyeluruh soal ini mungkin tidak akan pernah dapat dicapai. Begitu juga, esai ini tidak punya pretensi menyibak rajutan benang kusut yang melatari kompleksitas persoalan rumah ibadah. Dibutuhkan penelitian menyeluruh yang jangkauannya di luar kemampuan esai ini-sekalipun, pada saat bersamaan, perlu dicatat persoalan rumah ibadah selayaknya dilihat kasus demi kasus dengan seluruh kompleksitasnya, dan tidak mudah terjebak ke dalam praktik serba gebyah-uyah yang sembrono.
Dua Rajutan
Apa yang mau diusulkan di sini adalah ancang-ancang awal untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh yang masih harus dikerjakan. Jelas, untuk itu dibutuhkan penyederhanaan. Saya akan mengambil dua rajutan sebagai pintu masuk untuk melihat kompleksitas itu. Pertama, pada tataran paguyuban keagamaan, soal ketidakpahaman (dalam artian ignorance tadi), dan miskinnya informasi dasar yang mencerminkan religious illiteracy akut dalam pendidikan keberagamaan. Padahal informasi sederhana ini bisa berakibat panjang.
Ambil contoh sehari-hari. Jarang orang paham bahwa karena latar formasi historisnya yang sangat kompleks, umat Kristiani membutuhkan gedung ibadah berbeda-beda guna menampung denominasi yang berbeda-beda pula. Seorang anggota gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), misalnya, tidak dapat begitu saja beribadah di gedung gereja GKJ (Gereja Kristen Jawa) atau gereja Pantekosta, apalagi di gereja Katolik, sekalipun gedung gereja itu dekat dengan lokasi rumahnya.
Ini punya implikasi penting: kalau data yang ada memperlihatkan bahwa gedung gereja terus bertambah (Depag pernah mengatakan angka pertambahan gedung gereja yang fantastis: lebih dari 100 persen!), maka gejala itu tidak secara otomatis berarti penambahan umat kristiani, sebagai akibat "kristenisasi" atau "pemurtadan" yang sangat menggelisahkan banyak orang.
Ketiadaan informasi sederhana yang akut itu menambah kompleks dan keruh persoalan rumah ibadah, malah memancing reaksi penyikapan dan tindakan yang ekstrem. Masalahnya jadi begitu kompleks ketika diletakkan pada konteks rajutan.
Kedua, perasaan terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Saya selalu ingat cerita seorang teman, aktivis Muslim modernis, ketika ia pertama kali tiba di Jakarta tahun 1960-an. Di jalan-jalan besar yang ditemuinya hanyalah bangunan gedung gereja megah, sementara masjid dan surau terletak di gang-gang sempit, becek, dan bau. Ia mengaku jujur pada saya, waktu itu dalam hati ia mengumpat,
Syukurlah, teman saya hanya mengumpat dalam hati. Kini dia malah dikenal sebagai salah satu tokoh penggiat pluralisme yang tidak kunjung lelah berusaha membangun jembatan saling pengertian antarkelompok. Tetapi, sekalipun lingkungannya sudah jauh berubah, di balik cerita sederhananya itu bisa menjadi warisan kecurigaan yang menjadi subkultur relasi Islam-Kristen sampai sekarang. Rezim Orba, yang dibangun di atas marjinalisasi umat Islam, setidaknya sampai 1990-an, telah menanamkan akar kecurigaan antarkelompok yang sangat dalam dan akan terus menjadi mambang dalam setiap relasi antar umat beragama. Ditambah dengan religious illiteracy yang sudah disinggung di atas, maka persoalan pembangunan rumah ibadah menampilkan kisi- kisinya yang sangat kompleks.
Kini jadi jelas, persoalan pembangunan rumah ibadah tidak dapat dibahasakan melulu dalam bahasa universal HAM, maupun jaminan konstitusional dan kemauan politik pemerintah. Bukan saja karena bahasa HAM maupun jaminan konstitusional itu belum menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret, tetapi juga karena persoalan itu mencerminkan pergulatan sosio-historis yang ranahnya melangkaui urusan legalitas semata. Kontroversi diskursus Peraturan Bersama Menag-Mendagri (selanjutnya: PBM) No 9/2006 dan 8/2006 memperlihatkan soal itu dengan gambling).
Politik Perukunan
Pertama-tama perlu dikatakan bahwa PBM bukan sekadar revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag-Mendagri No 01/BER/ mdn-mag/1969 yang telah menuai banyak kontroversi, tetapi kebijakan yang sama sekali baru dan melangkaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat Menteri. Memang PBM-berbeda dengan SKB yang semena-mena diputuskan-digodok bersama institusi-institusi keagamaan dalam negosiasi yang alot. Begitu juga, dibanding SKB, PBM memberi ketegasan soal syarat-syarat (psl 13 dan 14) untuk mengurus ijin mendirikan rumah ibadah serta tenggat waktu yang lebih jelas: paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan, kepastian ijin sudah harus diberikan (psl 16:2). Masalahnya, PBM tidak mencantumkan sanksi apa yang akan diberikan jika ketentuan ini dilanggar.
Tetapi, yang jauh lebih problematis, PBM menciptakan mekanisme dan forum yang nantinya akan memegang peranan sentral: Fo- rum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)-sesuatu yang melampaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat menteri! Forum ini nantinya akan menjadi mekanisme satu-satunya untuk menata, mengatur, dan mengendalikan relasi antarumat beragama, dan menjadi pemegang monopoli rekomendasi ijin pembangunan rumah ibadah.
Sangat kuat dugaan bahwa FKUB akan menjadi ujung tombak dari apa yang saya sebut sebagai "politik perukunan", proyek paling ambisius Depag di masa Orde Baru, di mana kerukunan tidak dilihat sebagai hasil praktik perjumpaan sehari-hari dalam masyarakat majemuk, melainkan sebagai sesuatu yang perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Asumsinya, masyarakat sendiri-termasuk di dalamnya institusi-institusi keagamaan!-tidak mampu menjaga kerukunan, sehingga dibutuhkan tangan-tangan Negara. Asumsi inilah yang dulu, pada tahun 2003, dijadikan landasan Depag mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang penuh kontroversi. PBM, dengan penciptaan FKUB-nya, adalah "anak tidak sah" RUU KUB tersebut.
Masih terlalu pagi untuk menilai seberapa efektifkah PBM dan FKUB. Tetapi dengan melihat watak dasar "politik perukunan" yang menjadi paradigmanya, dan dengan religious illiteracy serta warisan serba-curiga yang menandai relasi antar-pemeluk agama selama ini, saya khawatir FKUB akan mudah dijadikan ajang kontestasi untuk mempertahankan supremasi mayoritas di suatu wilayah-sembari menafikan kelompok-kelompok minoritas di wilayah tersebut. Apalagi sebagai pemegang monopoli rekomendasi izin pendirian rumah ibadah, FKUB juga rentan menjadi sarang korupsi.
Jadi, menurut saya, sudah tiba waktunya institusi-institusi keagamaan memainkan peran lebih besar dengan secara kritis mengawasi sepak terjang FKUB. Wadah ini, sungguh, akan sangat menentukan wajah relasi antar umat beragama di masa mendatang dan, pada gilirannya, menentukan apakah Indonesia memang masih menjadi "rumah bersama" bagi setiap kelompok.
**Penulis adalah koordinator program MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan
Tanyakan diri anda pertanyaan ini: Apakah musik yang saya dengarkan membawa saya lebih dekat kepada Tuhan - atau apakah musik itu hanya menghibur ...