DI tengah kemajuan hubungan antaragama/kepercayaan, kita dikagetkan dengan kejadian di Pandeglang dan Temanggung. Mengapa hubungan antaragama yang sudah baik ini menjadi impoten dan kehilangan keramahtamahannya? Agama karena kemungkinan konfliktualnya dipenjara dalam “kotak perdamaian”.
Tentu sulit merepresentasi makna agama secara luas dan lugas sebagaimana religiositasnya yang dipraktikkan di masyarakat. Apalagi jika terjadi fobia di bawah sadar atas sifat eksklusif agama.
Format relasi antaragama bisa dianalogikan meletakkan agama-agama seperti para pemain catur pada papan hitam-putih yang sama. Dalam permainan catur, para pemain yakni agama-agama (pemimpin agama, lembaga agama dan umat beragama yang berbeda) menyepakati aturan main yang disepakati bersama. Paling tidak ada standar tertentu dalam permainan catur seperti jalannya bidak-bidak catur atau berupa prinsip-prinsip dialog antaragama.
Namun, agama itu sendiri juga memupuk sebuah otoritas subjektif penganutnya, perihal area dominan yang terkait dengan pengalaman transendental yang tidak mungkin tercabut dari akar keyakinannya, ia tidak bisa ditawar karena sifatnya yang final dari Tuhan.
Problem Lebih Jauh
Dalam dialog antaragama, sering diajukan prinsip bersama agar diterima logika adanya Yang Maha Kuasa sebagai fokus transendental atau ultimate reality “di sana” yang menjembatani perbedaan agama “di sini”. Namun, hanya mengklaim Yang Maha Kuasa sebagai satu-satunya “penyambung lidah agama-agama” bisa terjebak pada simplifikasi akan keberadaan Tuhan. Karena dalam agama-agama, Yang Maha Kuasa tidak berhenti di tataran generalisasi yang abstrak, tetapi mempunyai konsekuensi kepada keistimewaan (eksklusif) dan bersimbol.
Bagaimana seorang beragama A hanya menyepakati Yang Maha Kuasa, padahal ia sangat yakin dan final ihwal Tuhan yang lebih jauh dan jelas dari itu. Begitu pula seorang beragama B akan sulit tetap berada pada tataran Yang Maha Kuasa, tanpa menukik ke dalam konsekuensi eksklusivitas “Tuhannya”. Mengesampingkan problem eksklusivitas ini dikhawatirkan yang dialog bukan antaragama yang riil, tetapi “agama” yang telah terdistorsi demi format dialog.
Ada pula prinsip agar banyaknya penafsiran dan pemahaman mengenai Tuhan Yang Satu itu harus dipandang hanya sebagai “jalan” menuju hakikat yang absolut. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa agama sekadar “jalan”, bahkan salah satu jalan, dengan demikian “ada banyak jalan ke Tuhan”.
Dengan mengakui bahwa agama sebagai salah satu jalan, kita telah keluar dari baju agama riil yang mengatakan bahwa agama saya adalah satu-satunya jalan ke sana.
Tidak terjadi dialog antaragama dengan ketuhanan yang eksklusif, yang terjadi sebatas dialog antarmereka yang percaya Tuhan Yang Maha Kuasa. Dialog dan sharing antarmereka yang mencari jalan masing-masing untuk menuju Tuhan. Agama-agama dan pemeluknya agak sukar melangkah sangat jauh seperti ini, meninggalkan makna agama yang disepakati secara riil.
Prinsip berikutnya, yang menarik garis batas yang moderat ihwal pengalaman partikular mengenai realitas transenden dan absolut di antara sesama pemeluk agama yang berbeda, akan terkendala pada tingkat prioritas dan penting tidaknya pengalaman penganut agama lain dibandingkan dengan pencarian jawaban, pengalaman ilahiah, dan sebagainya yang terkait dengan realitas ultimat diri sendiri.
Logikanya sulit buat saya yang sudah telanjur mempercayai dan membuktikan “Tuhan agama saya” yang sudah menjawab doa-doa saya (dengan demikian menciptakan “eksklusivisme Tuhan saya”) berbarengan dengan itu juga mengakui Tuhan agama lain yang juga menjawab doa-doa penganut agama lain. Meski kita bisa saja kesampingkan ihwal truth claim, atas nama Tuhan agama saya, prioritas untuk terbuka, dialog dan masuk ke pengalaman dengan Tuhan agama lain bukan menjadi prioritas utama.
“Tangsi Rohani”
Kendala di atas harus dicarikan solusinya, tanpanya dikhawatirkan relasi antaragama hanya menjadi bungkus luar keprihatinan antaragama yang bermuasal dari konflik antaragama. Apalagi kesalehan sosial yang bersumber dari agama makin teralienasi sehingga kesalehan agama tidak tampak atau terselubungi oleh eksklusivisme dan kekerasan berbaju agama. Sebagai bungkus yang ingin rapi menutup lembaran hitam konflik berbau agama, ia tersandung dengan degradasi makna agama riil, dengan pemformatan agama dan prinsip dialog yang disepakati bersama.
Agama (sebagaimana yang terinspirasikan pada konflik berbau agama) dikhawatirkan tak lebih hanya sebagai religious machine yang menyiapkan amunisinya masing-masing yang siap tembak.
Dengan demikian, upaya dialog antaragama tak semudah membalik tangan, karena di dalam agama itu sendiri terdapat faktor-faktor yang antidialog, apalagi yang memperoleh cap “dari surga” dan berlaku final, sulit didiskusikan lagi. Namun demikian, kita tidak perlu pesimistis bahwa dialog antaragama akan berakhir di sini. Dialog antaragama yang tidak menampilkan sosok riilnya (diformat terlebih dahulu) sebagai religious machine sulit meredam konfik berbau agama.
Hal yang lebih utama ialah keberanian untuk menggali keberadaan awal sifat-sifat dialogis saat kemunculan agama-agama. Kemunculan awal ini pasti melewati ajang dialog dengan keberagaman yang sudah lebih dahulu ada. Beberapa di antara kebijaksanaan masa lalu agama ialah, selalu menjadi jalan pencerahan, pusat kasih sayang, ajakan kesalehan sosial seperti kebaikan, keteladanan, kerja sama, saling menolong, dan lain-lain.
Upaya dialog antaragama harus keluar dari sindrom pascakonflik berbau agama atau karakter ekspansionis bawaan agama untuk menaklukkan agama lain dan memberi kebenaran baru yang lebih benar. Begitu pula upaya menyadarkan atau menyelamatkan yang kafir atau fasik dan di sisi lain mencari orang berdosa atau “domba yang hilang”. Agama mencari yang luka, membalut, memulihkan mereka yang menderita sekalipun kepercayaannya berbeda.
Penderitaan umat agama A ternyata dijawab oleh “Tuhan agama B” menjadi dialog yang natural. Meski Tuhan agama B menolong penderitaan umat A, penganut agama B tidak serta-merta eksklusif dan menyimpulkan bahwa Tuhannyalah yang paling benar, karena agamanya juga mengajarkan penyangkalan diri, kerendahan hati, yang menjadi rem ketika fanatisme atas agamanya justru menciptakan ancaman bagi agama lain.
Relasi antaragama harus kembali kepada ajang perlombaan kesalehan agama. Begitu salehnya penganut agama, ia tidak akan menjadi ancaman bagi agama lain dan tidak direpotkan dengan dialog yang genting karena sindrom konflik berbau agama. Tanpanya dialog antaragama justru bisa terjebak sekadar “gencatan senjata” dari para religious machine, yang bisa membuat pemimpin-pemimpin agama, lembaga-lembaga agama, umat beragama, tidak lebih sebagai “tangsi rohani” yang di dalamnya masih dibentengi dengan eksklusivitas, truth claim, pun senjata kekerasan atas nama Tuhan, yang berpotensi menciptakan konflik baru dan membisu soal praktik kesalehan sosial.
Kebijakan ekonomi pemerintah memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi ...