Yogyakarta - Pascaperistiwa kekerasan, berbagai pihak, utamanya para pemuka agama mengadakan berbagai dialog keagamaan. Namun ke depan, kekerasan yang mengatasnamakan agama diperkirakan masih rawan terjadi di Indonesia.
"Dialog tersebut hanya terjadi pada orang-orang yang hampir sepakat, atau sudah sepakat terhadap pluralitas," ucap Suhadi Cholil, staf pengajar Sekolah Pascasarjana Center for Religious & Cross Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakart, Sabtu (12/2).
Menurutnya, masih ada kelompok-kelompok yang tidak sepakat terhadap isu-isu soal pluralisme. Misalnya, soal pembangunan rumah ibadah dan keberadaan Ahmadiyah. Jumlahnya memang sedikit di tiap daerah, tetapi jika berkumpul bisa membahayakan.
Dialog tersebut, sambungnya, tetap penting dilakukan agar memberikan opini kepada publik bahwa kekerasan yang terjadi tidak diamini. "Wacana dominannya adalah perdamaian karena orang di mana-mana lebih suka perdamaian daripada kekerasan," ucapnya.
CRCS Universitas Gadjah Mada dalam buku laporan tahunan Kehidupan beragama di Indonesia 2010, mencatat, kasus seputar rumah ibadah tercatat sebanyak 39 kasus, naik 21 kasus dari tahun sebelumnya 18 kasus.
sumber : mediaindonesia
“Kisah ke-Kristenan sebagai iman yang mendunia ditulis di depan mata kita," kata Dr. Dana Robert dari Boston University School of Theology, saat berbicara di hadapan kumpulan pemimpin-pemimpin gereja dunia