Ketika para koruptor dalam penjara memperoleh hadiah pada hari kemerdekaan berupa remisi alias pengurangan masa tahanan, banyak orang yang meributkannya.
“Seharusnya para koruptor itu dihukum seberat-beratnya agar jera, bukan malah diberi remisi,” protes mereka. Bagi sebagian lainnya, penolakan pemberian remisi bagi koruptor justru menunjukkan betapa minimnya jiwa pengampunan orang-orang tersebut.
Memang, kita bisa mendapatkan kesan yang salah seolah penolakan terhadap pemberian remisi adalah tanda minimnya pengampunan. Akan tetapi, sesungguhnya penolakan remisi bagi para koruptor adalah sebuah gugatan atas kecenderungan sebagian orang yang memperlakukan pengampunan sebagai barang murahan yang bisa diobral sesukanya.
Dalam percakapan Petrus dan Yesus, kita pun bisa mendapatkan kesan bahwa pengampunan seperti barang murah yang siap diobral. Petrus bertanya kepada Yesus,
“Tuhan sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya, “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Banyak amat sih!Kok Yesus "mengobral" pengampunan?
Harus kita pahami, pengampunan yang diobral adalah pengampunan murahan yang bersifat manipulatif. Pengampunan yang murahan adalah pengampunan tanpa keikhlasan dari yang mengampuni dan tanpa penyesalan dari yang diampuni.
Pengampunan murahan bisa dimanipulasi untuk mengecilkan persoalan yang serius dan besar! Pengampunan murahan melebarkan kebencian, bukan mendamaikan karena ia didirikan di atas pasir ketidakadilan, bukan di atas batu karang kasih sayang! Pengampunan seperti itu menyesatkan!
Jangan Dilacurkan
Ketika Marzuki Alie, Ketua DPR, melontarkan gagasan perlunya pengampunan bagi para koruptor, banyak orang terperangah. Bagi mereka, ide yang seolah turun dari langit ini berbungkus indah tapi berisi sampah.
Tidak tahukah Marzuki Alie bahwa idenya tentang pengampunan bagi para koruptor dilontarkan saat kanker korupsi sedang ganas menggerogoti setiap sendi kehidupan bangsa ini?
Gagasan pengampunannya ini telah meremehkan persoalan serius dan besar yang sedang menghantam jantung kehidupan bangsa. Bagi banyak orang, ide pengampunan ini disampaikan oleh orang yang tidak pernah menyaksikan dan merasakan secara langsung pahit getirnya hidup rakyat, korban para koruptor.
Kita sulit memahami dengan akal sehat gagasannya itu. Alih-alih memikirkan strategi jitu menghentikan ulah koruptor, kok malah hendak mengampuni mereka! Sangat salah kalau membiarkan para koruptor menikmati hasil jarahannya, tanpa hukuman apa pun. Realitas maksiat korupsi pun akan makin memburamkan nasib bangsa ini.
Kalau itu terjadi, pengampunan pun menjadi obralan, bahkan dilacurkan. Gagasan ini semakin melukai hati mengingat sudah bukan rahasia lagi betapa para penjarah uang rakyat ini justru menjalani hidup mewah di penjara sambil menikmati remisi berkali-kali. Kita harus bisa mengampuni, tetapi bukan pengampunan obralan apalagi pengampunan yang dilacurkan.
Pelit Pengampunan
Yesus tidak menawarkan pengampunan obralan murah meriah seperti di atas! Namun, melalui kalimat “tujuh puluh kali tujuh kali” Yesus sedang mengingatkan bahaya lain dari pengampunan, yaitu ketika pengampunan menjadi terlalu mahal.
Akibatnya, pengampunan menjadi sangat langka. Orang emoh memberikannya, ogah melakukannya. Petrus terlalu pelit mengampuni! Ia terlalu perhitungan! Padahal inti dari spiritualitas yang Yesus dan banyak agama ajarkan adalah pengampunan.
Tanpa pengampunan, spiritualitas jadi sekadar pernik dan simbol tanpa substansi cinta! Pengampunan yang terlalu mahal akan melemahkan spiritualitas. Ia memenjarakan manusia dalam kebencian dan permusuhan.
Oleh karena itu, pengampunan itu bersifat membebaskan, baik yang mengampuni maupun yang diampuni. Sang pengampun dibebaskan dari belenggu kemarahan dan kebencian, yang diampuni dibebaskan dari kerangkeng rasa malu dan takut.
Akar persoalan tidak diremehkan, tetapi dibicarakan dengan serius dalam relasi persaudaraan yang saling mendengarkan dan menumbuhkan.
Pengampunan seperti ini membasahi kegersangan religiusitas, memacu denyut jantung spiritualitas, dan memulihkan relasi yang pernah putus. Tanpa kesediaan mengampuni, spiritualitas menjadi onggokan sampah. Oleh karena itu, janganlah pelit mengampuni, tetapi jangan pula mengobral dan melacurkannya!
Sebanyak 300 ribu jemaat Kristen di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tidak mempunyai tempat ibadah yang tetap karena tidak mendapat persetujuan dari