Tokoh Agama: FKUB Cenderung Diskriminatif
“Kami, majelis masing-masing agama, belum menerima rancangan peraturan bersama tersebut sehingga tidak ada bahan yang bisa dipelajari,”
Monday, Oct. 31, 2005 Posted: 8:46:40AM PST
Pemerintah diminta tidak terburu-buru mengeluarkan Peraturan Bersama Dua Menteri menggantikan Surat Keputusan bersama (SKB) Dua Menteri No 1/1969.
Hal itu terutama terkait dengan point mengenai perizinan pembangunan rumah ibadah lewat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) seperti yang tertuang dalam rancangan Peraturan Bersama Dua Menteri tersebut.
Demikian kesimpulan majelis lima agama di Indonesia dalam acara sosialisasi rancangan Peraturan Bersama Dua Menteri.
“Kami, majelis masing-masing agama, belum menerima rancangan peraturan bersama tersebut sehingga tidak ada bahan yang bisa dipelajari,” komentar Ketua Majelis Ulama Indonesia Nadli Adlain, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Aritonang, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia I Nyoman Suanda, dan Ketua Walubi Suhardjo Sanjaya.
Acara yang dihadiri oleh Sekjen Departemen Agama, Prof. DR. Faisal Ismail, dan menghadirkan pembicara dari Dirjen Kesatuan Bangsa, Departemen Dalam Negeri, Sudarsono, dan Litbang Departemen Agama, Atok Mudzar dinilai terlalu singkat untuk membicarakan persoalan yang sangat besar dan pelik ini.
“Acara ini sebenarnya adalah untuk mendapatkan masukan dari majelis-majelis masing-masing agama tentang rancangan Peraturan Bersama ini. Namun, kami sudah menyosialisasi bahan ini ke seluruh Kanwil Departemen Agama di Indonesia,” kata Ketua Litbang Departmen Agama Atok Mudzar dalam forum itu.
Dalam kesempatan itu juga, forum menilai bahwa keberadaan FKUB tidak akan independen, cenderung diskriminatif terhadap kelompok penganut agama minoritas, dan semakin membebankan masyarakat karena segala kegiatan forum akan dibiayai oleh APBD.
“Diskriminasi jelas terlihat pada Pasal 10 Ayat 1 tentang jumlah dan komposisi keanggotaan FKUM ditetapkan secara proporsional menurut perbandingan jumlah pemeluk agama. Sementara itu juga, FKUB tidak memiliki tanggung jawab untuk melaporkan penggunaan dana APBD sehingga membuka peluang baru korupsi dan penyimpangan dana APBD,” kata ahli hukum DR. M. Farida SH dalam kesempatan itu.
Farida juga menjelaskan bahwa tindakan pemerintah lewat rancangan peraturan yang baru jelas mengindikasikan pelanggaran hak warga negara yang sudah dijamin oleh UUD 1945, Pasal 29. Rancangan peraturan ini juga melanggar UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan Pasal 22 Ayat 1 dan 2 yang isinya setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.
Dia mengatakan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. “Pelanggaran terlihat dalam Rancangan Peraturan Bersama yang membatasi pembangunan rumah ibadah dengan syarat jumlah minimal penganut. Pembatasan kegiatan beribadah juga hanya di rumah ibadah atau seizin Bupati/Walikota dengan pertimbangan tertulis kepala Kantor Wilayah Departemen Agama setempat,” jelas Farida.
>
Maria F.
maria@christianpost.co.id
|