HOME Society Nation
: : VIEW PAGE

Pendeta Phil Erari: Buka Dialog dengan Rakyat Papua

Ia mengharapkan pemerintah RI bersikap arif dan mau membuka diri untuk dialog dalam menghadapi perkembangan di Papua

Monday, Aug. 15, 2005 Posted: 11:30:28AM PST

Tokoh Papua Pendeta Dr Karel Phil Erari mengharapkan pemerintah RI bersikap arif dan mau membuka diri untuk dialog dalam menghadapi perkembangan di Papua, khususnya setelah tindakan kultural Dewan Adat Papua mengembalikan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua.

"Jakarta harus mau membuka diri untuk dialog dengan seluruh komponen rakyat Papua, dan itu dilakukan dengan penuh persaudaraan," kata Erari dalam percakapan dengan Sinar Harapan, 12 Agustus di Jakarta.

Lebih jauh Erari mengatakan pengembalian otsus ini adalah bentuk perlawanan kultural. "Itu ibarat mas kawin yang ditawarkan agar Papua tidak lepas, sehingga kalau mas kawin itu dikembalikan maka bisa diartikan tidak ada ikatan lagi, ini adalah bentuk pengembalian secara budaya, yang artinya tidak ada lagi ikatan antara rakyat Papua dengan Indonesia. Karenanya harus ada pertemuan kedua keluarga ini," katanya.

Dalam pandangannya, aksi mengembalikan Otsus Papua itu dianggap sebagai sebuah kegagalan kebijakan pemerintah. "Jadi, pemerintah harus mengadakan pembicaraan dengan DPR Papua, agar dalam pleno nanti mereka membuat juga keputusan yang arif," kata Erari, mantan pengurus PGI yang kini sebagai komite eksekutif di LSM Partnership for Government Reform di Papua.

Dia juga mengingatkan bahwa pengembalian UU Otsus Papua oleh Dewan Adat Papua adalah proses yang demokratis dari salah satu komponen rakyat, dan bisa jadi akan ada komponen yang lainnya.

"Jadi lewat dialog akan dibahas penanganan Papua secara lebih bermartabat. Jakarta harus mau dengar usul-usul baru dari rakyat Papua. Misalnya: dana-dana otsus untuk pendidikan dan kesehatan mengapa tidak sampai ke masyarakat. Akibatnya, rakyat menganggap Otsus Papua hanya dinikmati para birokrat. Harus ada penjelasan yang akuntabel terhadap penggunaan dana-dana yang tidak sampai ke rakyat," katanya.

Kemudian, berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM yang selama ini tidak tertangani dengan baik harus dituntaskan.

Dia mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatakan bahwa masalah Papua akan diselesaikan secara komprehensif, demokratis, dan bermartabat. Komprehensif artinya proses penyelesaian itu meliputi satu pulau Papua eks Irian Jaya.

"Haruslah ada pengakuan bahwa Inpres No 1/2003 adalah skandal hukum," tegasnya.

Sabtu kemarin, SH memberitakan bahwa suasana di Jayapura berlangsung aman dan masyarakat beraktivitas seperti biasanya. Sejumlah warga, khususnya umat Katolik, malah menuju Merauke untuk merayakan 100 tahun masuknya Gereja Katolik.

Selain menuntut pengembalian UU Otonomi Khusus kepada pemerintah pusat serta mendesak DPRP Papua dan Pemda Papua untuk menghentikan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Jumat, Dewan Adat Papua meminta Kapolri, kejaksaan dan KPK segera menyelidiki Gubernur Papua JP Sollosa dan semua pejabat yang bertanggung jawab atas pemanfaatan dana otsus.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Progo Nurdjaman kepada wartawan, Jumat (12/8), menegaskan dalam sistem hukum, tidak dikenal adanya istilah mengembalikan undang-undang (UU). Untuk itu, meskipun ada yang berniat mengembalikan UU Otsus Papua, Provinsi Papua tetap berstatus sebagai daerah otonomi khusus.

Ditanyai implikasi kalau UU Otsus itu dikembalikan, Progo mengatakan ia melihat proses pengembalian yang dilakukan bukan suatu proses hukum. Secara hukum, katanya, UU itu hanya bisa dicabut atau direvisi. Untuk itu, tegasnya, selama satu UU dicabut atau direvisi, maka UU itu tetap berlaku. Itu pekerjaan DPR dan pemerintah.
>


Nofem Dini
dini@christianpost.co.id