HOME Society Stats
: : VIEW PAGE

Gereja Mendukung Tapi Terbatas

Thursday, Nov. 11, 2004 Posted: 1:58:31PM PST

Melihat pentingnya peran awam di kancah politik, Gereja merangkul para politisi Katolik sebagai mitra. Mereka bertemu di KWI.

Malam itu, puluhan anggota legislatif Katolik (DPR-RI, DPD, dan DPRD se-Jabotabek) periode 2004-2009 menghadiri acara "Dialog Kemitraan Anggota Legislatif 2004-2009 dengan Komunitas Katolik" di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Lt. IV, Menteng Jakarta. Pertemuan ini juga dihadiri para pengurus dewan ormas dan orpol Katolik. Acara ini difasilitasi Komisi Kerawam KWI, FMKI-KAJ, dan Presidium ISKA. Tampil sebagai pembicara Ketua Presidium KWI Kardinal Julius Darmaatmadja SJ dan Pastor Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ dengan moderator Budiman Tanuredjo dari Harian Kompas.

Peran Awam

Kardinal menyampaikan empat hal tentang awam. Pertama, oleh Gereja, kaum awam disebut sebagai rasul-rasul atau misionaris. Kedua, medan perutusan awam di dalam Gereja maupun di tengah dunia. Ketiga, tugas anggota legislatif sebagai misionaris dan rasul. Keempat, awam yang kian berdaya guna sebagai garam dan terang.

Untuk itu, Kardinal menekankan, mereka perlu meningkatkan kualitas kesatuan hidupnya dengan Kristus sebagai orang Katolik dan keahliannya sebagai anggota legislatif. Mereka juga diajak menghormati martabat manusia, mensosialisasikan kasih persaudaraan, dan mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan bersama, demi terwujudnya kesejahteraan umum.

Dalam hal penataan negara dan hidup bermasyarakat, Kardinal memberi tiga hal untuk diperhatikan: Pertama, perlindungan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Kedua, menumbuhsuburkan budaya kasih yang berciri kebenaran, kejujuran, keadilan, solidaritas, kerja sama, dan persaudaraan yang inklusif. Ketiga, menumbuhsuburkan nilai-nilai ideologi Pancasila, budaya, agama, dan kepercayaan untuk melawan budaya sekular yang egoistis, konsumeristis, dan materialistis.

Sementara itu Pastor Magnis menyampaikan prinsip-prinsip umum etika politik Katolik. Ia tegaskan, "Inti etika kristiani adalah cinta kasih yang berdasarkan keadilan." Ia menambahkan, pihak umat kristiani menolak kebijakan yang bernapaskan kebencian, agresivitas, balas dendam, intoleransi, rasisme, dan kekerasan. Namun, di lain pihak umat kristiani dipanggil untuk mengusahakan keadilan dan kebaikan bagi semua orang, golongan, dan berpihak pada kehidupan dengan jalan damai.

Netralitas Gereja

Dalam dialog interaktif muncul kesan, Gereja sinis terhadap politisi Katolik. Dalam tanggapannya Kardinal mencatat usaha-usaha bergandengan tangan para politisi Katolik dengan Gereja. Namun ia tak sependapat dengan penggunaan mimbar gereja, forum-forum gerejani untuk kampanye. "Bagi kami itu sangat berat dan tidak mungkin mengizinkan. Konsekuensinya adalah mengizinkan sekian partai boleh memakai mimbar Gereja. Mungkin sikap Gereja inilah yang dianggap aktivis partai sebagai penolakan. Tetapi penolakan itu bersumber dari keinginan hierarki untuk netral terhadap partai-partai mana pun. Faktanya Gereja sulit menjaga kenetralan bila ikut kegiatan partai," jelasnya.

Lebih jauh Pastor Magnis mengatakan, bahwa Gereja sebenarnya tidak sinis. "Gereja, dalam hal ini hierarki, menurut pengalaman saya sadar betul akan pentingnya keterlibatan umat Katolik dalam kancah politik. Tetapi, seperti dikatakan Kardinal tidak mungkin mengambil sikap dalam hal kepartaian," papar Guru Besar filsafat itu. Namun jika yang minoritas ini bersatu, pasti Gereja mendukung. Juga ketika yang minoritas terpecah-pecah dalam berbagai partai? "Saya kira semua politisi Katolik boleh mengharapkan dukungan dan akan diberikan dukungan oleh Gereja," tambahnya.

Kardinal berharap agar pertemuan semacam ini bisa terjadi secara berkala. Hal senada diungkapkan Ketua Komisi Kerawam KWI Mgr Agustinus Agus, "Saya berharap, pertemuan serupa bisa diadakan di daerah-daerah agar sesama politisi Katolik di daerah pun bisa saling bertemu, juga dengan hierarki setempat," ujarnya.

Gloria
>