Gereja supaya memantau dampak negatif tayangan TV dan media
Monday, Nov. 8, 2004 Posted: 8:14:49PM PST

CIPAYUNG – Konsultasi Nasional IV Gereja dan Komunikasi 22-25 Oktober 2004 yang diadakan oleh Yakoma-PGI 22-24 Oktober di Pondok Remaja, Cipayung, Jawa Barat, menyerukan kepada gereja-gereja di Indonesia agar giat melakukan pemantauan terhadap dampak negatif tayangan TV dan media cetak serta menyosialisasikannya kepada warga jemaat.
Seruan tersebut yang tercantum dalam Manifes Cipayung dikeluarkan peserta Konsultasi yang berjumlah sekitar 40 orang utusan gereja-gereja dan lembaga gereja yang bergerak di bidang komunikasi dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Mereka telah membahas dalam kelompok-kelompok diskusi materi-materi yang disampaikan melalui topik-topik “Komunikasi untuk mengatasi kekerasan” oleh Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indnesia, Dr. A.A. Yewangoe, “Teknologi Informasi: Peluang dan Tantangan” oleh Dr. Robert Sianipar, Deputy Informasi Otorita Batam, “Masalah etis dalam jaring komunikasi dan masyarakat informasi” oleh Dr. Liek Wilardjo, dosen Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana, “Hak berkomunikasi dalam masyarakat informasi” oleh Ashadi Siregar, Direktur LP3Y. Disusul oleh topik-topik lain “Media dan kekerasan terhadap perempuan dan anak” oleh Maria Hartiningsih, wartawan Kompas Jakarta, “Pendidikan kewaspadaan media, menyikapi hegemoni media massa” oleh Mula Harahap, “Persoalan gereja elektronik” oleh Arthur J. Horoni.
Selain itu, konsultasi merekomendasikan kepada gereja-gereja untuk melakukan pendidikan penyadaran media secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga-lembaga oikoumenis agar jemaat menjadi pengguna media yang kritis. Mengembangkan praksis komunikasi yang mendorong kepada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (KPKC). Memaksimalkan pemanfaatan dan pengembangan media komunikasi yang ada di lingkungannya sebagai saluran komunikasi dan informasi bagi warganya.
Kepada PGI konsultasi menyerukan supaya memberikan perhatian serius dengan mengalokasikan dana yang memadai untuk pembinaan media, serta memfasilitasi komunikasi dan dialog dengan lembaga-lembaga agama lain.
Kritis
Manifes Cipayung menyatakan, kita patut mensyukuri perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membawa berbagai kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan dan pelayanan kita sebagai gereja dan masyarakat. Namun di sisi lain, kita harus bersikap kritis terhadap berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Teknologi informasi dan komunikasi adalah bagian dari "mesin-mesin" globalisasi dan neoliberalisme. Artinya, kemajuan teknologi tersebut tak dapat dilepaskan dari kepentingan bisnis TNCs (perusahan-perusahaan transnasional) dan tanpa teknologi tersebut teknologi globalisasi dan neoliberalisme takkan berjalan.
Globalisasi dan neoliberalisme adalah bentuk perekonomian dilandasi pasar bebas, peran korporasi multinasional (MNCs) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mengatur lalu lintas uang dan barang, produk, dan jasa. Inilah konteks yang sesungguhnya teknologi komunikasi dan informasi, sedangkan konsumen sesungguhnya sekadar “pasar”.
Tetapi apa yang disebut “pasar” ternyata bukan hanya individu-individu yang tak berhubungan satu dengan yang lain; tetapi juga organisasi politik, organisasi profesi, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan industri, termasuk industri media.
Yang kerap dilupakan, demikian manifes Cipayung itu, pasar adalah juga jaringan terorisme. Yang dimaksud teror adalah pengembangan ketakutan. Maka semua pihak yang melakukann tindakan yang menakutkan manusia adalah teroris.
Dilihat dari kepentingan korporasi transnasional dan pasar bebas, teknologi ini menciptakan ketergantungan negara-negara konsumen yang berada di 2/3 bagian dunia kepada negara-negara industri.
Namun persoalannya segera mengancam hidup orang banyak ketika teknologi ini dijadikan bagian dari persenjataan jaringan terorisme. “Siapa” di sini adalah kelompok konsumen tertentu yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk kepentingan tertentu. Keberhasilan jaringan terorisme dalam meluaskan gerakan dan pengaruhnya tak dapat dilepaskan dari peran teknologi informasi dan komunikasi.
Di sinilah persoalan etis muncul. Pertanyaan “siapa untuk kepentingan apa” adalah pertanyaan etika. Ketika teknologi komunikasi nirkabel seperti internet digunakan untuk menyebarluaskan pornografi dan memprovoksai sentimen-sentimen yang sempit, maka persoalan etis muncul. Ketika stasiun TV mengkonstruksikan tayangan-tayangan yang bias gender dan memicu kekerasan terutama kekerasan berbasis gender, maka persoalan etis muncul . Bahkan ketika pers yang mengaku-ngaku sebagai insituasi publik dan salah satu pilar demokrasi menutup akses masyarakat terhadap informasi melalui self censorship seperti pada era Soeharto, maka persoalan etis muncul. Pada tataran yang lebih sublim, teknologi komunikasi juga berdampak pada penyeragaman kultural seperti cocacolanisasi serta punahnya kekayaan bahasa-bahasa dunia.
Gereja-gereja dan lembaga-lembaga komunikasi Kristen melalui WACC (World Association for Christian Communication) telah merumuskan Prinsip-prinsip Kristen di Bidang Komunikasi (1989). Yakni, menciptakan komunitas, membebaskan, partisipatif, mendukung kebudayaan dan profteis. Namun Prinsip-prinsip tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan dalam praksis komunikasi gereja.
Untuk menekan berbagai dampak negatif media komunikasi, pendidikan penyadaran media kini mendesak diselenggarakan, khususnya bagi warga jemaat. Perkembangan media di Indonesia baik cetak maupun elektronik tak semua menggembirakan dan membanggakan. Memang, pada satu sisi sensor tak lagi menganggu. Tetapi di sisi lain, pertumbuhan stasiun-stasiun televisi tidak sejalan dengan muatan tayangan. Kode etik pers cenderung diabaikan sehingga tayangan-tayangan TV kini penuh dengan “tahyul”, “kekerasan” termasuk kekerasan berbasis gender dan stereotipe terhadap kaum perempuan, pelecehan-pelecehan terhadap kemanusiaan seperti pelecehan kaum cacat, balas dendam dan premanisme terhadap sesama (sebagai akibat menonton film-film Cina dan India), kekerasan terhadap anak, ekspos pemerkosaan, serta berbagai acara yang bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas kenakalan remaja dan kenakalan anak.
Yakoma
>
|