Pemerintah Baru dan Masalah Rumah Ibadah
Friday, Oct. 8, 2004 Posted: 5:06:06PM PST
SEKELOMPOK warga masyarakat memprotes kegiatan ibadah warga Katolik yang menggunakan bangunan di lokasi kompleks sekolah Yayasan Pendidikan Karya Sang Timur di Karang Tengah, Kota Tangerang, Minggu (3/10) lalu. Protes itu dilakukan dengan membuat tembok di pintu masuk. Akibatnya kegiatan 2.400 siswa Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Luar Biasa di tempat itu terganggu. Bahkan, karena masalah akses ke kompleks sekolah itu, pihak yayasan meliburkan kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut.
Protes kalangan tertentu terhadap umat beragama yang beribadah di tempat yang disebutkan sebagai tidak memiliki izin untuk rumah ibadah itu merupakan yang kesekian kali terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Dalam kasus di sekolah "Sang Timur", disebutkan ada 8.900 jemaat yang akan menghadapi kesulitan untuk beribadah. Berbagai kalangan memprihatinkan terjadinya kasus tersebut yang terus berulang, dan muncul dengan argumentasi yang sama, tetapi nyaris tidak pernah ada upaya yang serius untuk mengatasinya. Mendirikan rumah ibadah tampaknya menjadi masalah yang serius, atau bahkan memiliki latar belakang yang lebih serius.
Larangan beribadah di bangunan yang tidak memiliki izin untuk beribadah merupakan paradoks, karena izin untuk mendirikan rumah ibadah bagi kalangan pemeluk agama tertentu merupakan masalah yang pelik, dan sangat sulit. Dalam kasus seperti itu upaya untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah mendapat hambatan yang serius, bahkan dalam kasus "Sang Timur" telah dilakukan dalam belasan tahun. Tetapi izin itu tak pernah keluar, padahal ada sekitar 9.000 warga yang memerlukan rumah ibadah.
KASUS itu mengusik kehidupan kebangsaan Indonesia yang menyebutkan diri sebagai bangsa yang pluralis, tidak diskriminatif, dan saling menghormati. Namun kenyataannya untuk beribadah saja menghadapi kesulitan. Masyarakat Indonesia yang selama ini disebutkan begitu toleran dalam kehidupan beragama, patut mempertanyakan, sekaligus harus mencari solusi. Keadaan itu, kalau terus dibiarkan akan mendorong terjadinya pengelompokan-pengelompokan wilayah permukiman atau enclaves. Jika mendirikan bangunan rumah ibadah hanya dimungkinkan dengan pengelompokan seperti itu, maka akan terjadi upaya mempererat ikatan komunitas. Pemisahan seperti itu akan menimbulkan kontak antarwarga dari berbagai latar belakang (agama, budaya, etnis, golongan) tidak mudah dilakukan, dan menyuburkan sikap apriori antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Dengan demikian cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat pluralis yang harmonis tidak akan terwujud.
Pada satu sisi, kondisi itu akan menghambat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Kalangan yang kesulitan memiliki rumah ibadah berarti menghadapi kesulitan dalam membangun pusat kegiatan pembinaan rohani, salah satu aspek yang penting dalam membangun karakter bangsa. Tokoh-tokoh agama haruslah bertemu dan membicarakan hal itu untuk mencari solusi. Bukankah hak setiap pemeluk agama untuk beribadah dan mendapatkan pembinaan rohani?
Bangsa Indonesia sendiri menghadapi dekadensi moral, dan karenanya krisis multidimensi terus berkepanjangan. Masalah korupsi, kriminal, kesenjangan sosial dan ekonomi, merupakan masalah yang serius yang menuntut keterlibatan para tokoh agama dalam pembinaan moralitas. Hal itu jauh lebih urgen bagi para tokoh agama untuk bersinergi mengatasinya, daripada berkutat pada persoalan izin mendirikan rumah ibadah seperti selama ini. Agama sebagai kekuatan moral dan perdamaian, mestinya menjadi pusat energi bangsa ini untuk mengatasi masalah, dan bukan menjadi pemicu konflik dan kekerasan.
KITA prihatin karena kasus iitu terjadi ketika bangsa Indonesia tengah bergerak dalam perubahan dan demokratisasi. Bahkan keniscayaan sebagai bangsa yang pluralis menjadi tema penting kampanye para kandidat presiden, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang memenangi pemilihan presiden. Kita berharap presiden terpilih, pilihan rakyat, memberi perhatian serius pada masalah ini dan mencari solusi yang damai bagi masa depan bangsa.
Pertama-tama haruslah mengangkat menteri yang mengurusi bidang keagamaan itu, orang yang mempunyai kredibilitas baik, dan memiliki kapasitas serta komitmen untuk toleransi dalam kehidupan beragama. Harapan besar itu ada pada pundak presiden terpilih dan juga birokrasi baru sehingga tidak ada lagi aksi-aksi yang mengoyak persatuan dan perdamaian.
SP
>
|