YWCA Melayani Narapidana di Nusa Kambangan
Nusa Kambangan ternyata tidak menyeramkan, seperti yang dibayangkan banyak orang. Kesan itu didapat rombongan Young Women's Christian Association (YWCA) Jakarta Metro
Tuesday, Jul. 5, 2005 Posted: 12:51:27PM PST
Nusa Kambangan ternyata tidak menyeramkan, seperti yang dibayangkan banyak orang. Kesan itu didapat rombongan Young Women's Christian Association (YWCA) Jakarta Metro, belum lama ini, ketika memberikan pelayanan di rumah tahanan yang terletak di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, Suara Pembaruan memberitakan.
Rombongan yang terdiri dari 24 orang, merupakan tim pelayanan terdiri dari pengurus dan anggota YWCA, pemusik rohani, dua pendeta, yakni John Lokollo dan Kilis, serta evangelist Endang Rante. Mereka memberikan pelayanan di empat rutan yang tersebar di Pulau Nusa Kambangan, yaitu Rutan Batu, Rutan Besi, Rutan Kembang Kuning, dan Rutan Permisan.
Joan Henuhili-Raturandang, Presiden YWCA Jakarta Metro bertutur, sekitar 100 penghuni di empat rutan yang beragama Kristen mengikuti setiap ibadah dengan khusyuk, bahkan air mata penyesalan pun bercucuran. Tidak jarang terdengar niat atau keinginan dari narapidana untuk bertobat dan bertekad tidak kembali lagi ke rumah tahanan. Bahkan beberapa dari mereka menyatakan ingin menjadi pelayan Tuhan.
Pulau itu memang sedikit misterius karena di sekelilingnya terdapat hutan lebat. Penjara yang dibangun tahun 1908, ketika Belanda masih menjajah Indonesia itu adalah sebuah tempat yang tertutup bagi masyarakat umum. Pada masa penjajahan, Nusa Kambangan menjadi tempat pembuangan tawanan politik, seperti tokoh Pergerakan Nasional dan mantan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Belakangan tempat ini pernah menjadi tempat hukuman narapidana "kelas berat", seperti Anton Medan, Kusni Kasdut, Umar Bilah alias Johny Indo yang sekarang menjadi pendeta.
Mulanya Belanda mendirikan sembilan rumah tahanan (rutan), namun karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dihuni narapidana, sejak tahun 1985, tinggal empat rutan tersisa yang masih bisa digunakan. Satu rutan dengan rutan lainnya dihubungkan jalan aspal selebar sekitar empat meter. Untuk mencapai pulau ini, rombongan harus menyeberangi selat Nusa Kambangan, yang terkenal dengan nama Selat Segara Anakan selama 10 menit. Pulau ini berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia yang berombak ganas. Hutan lebat di pulau ini juga menjadi tempat berlindung binatang-binatang buas.
Sesampainya di Nusa Kambangan, pertama kali tim pelayanan mengunjungi penjara Batu, dimana kepala lembaga pemasyarakatan dan petugas di sana menyambut kedatangan rombongan dengan antusias dan juga bersikap cukup kooperatif. Meski, ada sedikit peraturan mengganjal, seperti kamera dan telepon selular tidak diperkenankan dibawa masuk, kecuali satu kamera milik Presiden YWCA.
Di tempat ini pula terdapat mantan bajak laut Bahar Matar yang sudah 40 tahun menghuni rutan Batu. Selama itu, Bahar merasa tidak pernah mendapat perhatian pemerintah. Namun dia bersyukur karena sejak berdiam di rutan Batu, ia merasa justru dijamah Tuhan. Kini Bahar pasrah dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada rencana Tuhan. Penghuni rutan Batu lainnya adalah Inocent, seorang narapidana asal Nigeria, yang sebentar lagi akan dibebaskan. Inocent mengaku bahwa di Nusa Kambangan-lah dia mulai mengenal Tuhan, sehingga tidak takut lagi untuk menjalani kehidupan ini.
Di Rutan Kembang Kuning, penerimaannya agak longgar. Bahkan, terkesan narapidana di sini adalah sebuah keluarga besar yang sedang "disekolahkan". Seperti yang dikatakan Pdt John Lokollo, para narapidana itu bukan di penjara, tetapi "disekolahkan", karena hidup di luar belum sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. "Tuhan mengasihi para narapidana dan mengizinkan mereka masuk ke Nusa Kambangan untuk belajar tentang kehidupan," ujar John Lokollo.
Pelajaran tentang kehidupan itulah yang kini diterima Sony Tarsono dan anaknya. Mereka adalah pelaku pembunuhan mutilasi di Purwokerto, Jawa Tengah, beberapa tahun lalu dan sekarang mereka sudah menerima Tuhan. Kini, keduanya menjalani hukuman seumur hidup, yang sebelumnya adalah hukuman mati.
Sesudah mengunjungi Rutan Batu, Besi, dan Kembang Kuning, pelayanan terakhir dilakukan di Rutan Permisan. Di tempat ini para terhukum kelas berat ditempatkan. Mereka pernah melakukan pembunuhan secara sadis dan ada juga yang melakukan korupsi kelas kakap.
Sebuah pengalaman berharga dan menarik bisa dipetik dari kegiatan pelayanan di Pulau Nusa Kambangan, kata Suara Pembaruan. Mereka yang semula dianggap sampah masyarakat, apabila dijamah Tuhan, sanggup mengubah kehidupannya menjadi berharga. Mereka yang diperkenankan ke luar Nusa Kambangan setelah lulus "sekolah" diharapkan bisa kembali berbaur dengan masyarakat dan senantiasa mengikuti jalan Tuhan.
>
Sandra Pasaribu
sandra@christianpost.co.id
|