Wawancara dengan Suster Catherine Bernard tentang Permasalahan Keluarga
Wednesday, Sep. 22, 2004 Posted: 5:42:04PM PST
DAEJEON, Korea Selatan -- Pelayanan keluarga Gereja perlu terpusat pada upaya menjalin hubungan dalam keluarga, tapi karya ini tidak mudah, kata seorang suster yang memimpin sebuah pusat pelayanan keluarga independen yang berbasis di India.
Suster Catherine Bernard dari Kongregasi Salib Suci adalah pendiri dan Ketua Yayasan Pelayanan dan Riset Asia tentang Keluarga dan Kebudayaan (SERFAC, Service and Research Foundation of Asia on Family and Culture) itu. Ia menghadiri Sidang Umum Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC, Federation of Asian Bishops' Conferences) VIII yang digelar 17-22 Agustus di Daejeon (Taejon), 170 kilometer selatan Seoul.
Dalam wawancara berikut ini, Suster Bernard berbicara tentang masalah keluarga, termasuk pelayanan keluarga Gereja, karya SERFAC, masalah keluarga di India, posisi dan peran perempuan, dan perkawinan antargama. Ia bicara dengan UCA News pada Agustus lalu, di sela-sela sidang umum bertema "Keluarga Asia Menuju Budaya Kehidupan."
UCA NEWS: Kapan dan bagaimana SERFAC dibentuk?
SUSTER CATHERINE BERNARD: Tahun 1986, SERFAC diresmikan pada Kongres se-Dunia tentang Keluarga dan Kebudayaan di Chennai (Madras), India. SERFAC adalah sebuah organisasi independen yang tidak dibentuk atau dikelola oleh keuskupan atau kongregasi religius manapun.
Sebelum mendirikan institusi itu, saya sudah berkarya selama 12-13 tahun di bidang keluarga berencana alamiah (KBA) dan bidang (lainnya) tentang kehidupan keluarga. Saya bisa melihat perlunya dan pentingnya membantu keluarga, yang sudah mulai melemah. Keluarga perlu dikuatkan agar masyarakat mampu menemukan keindahan dan panggilan dalam kehidupan keluarga.
Sekitar 10 tahun ini, apa yang telah dilakukan dan diraih SERFAC?
Saya kira, prestasi terbesar SERFAC adalah menyatukan orang-orang dari berbagai belahan Asia dan dunia pada sebuah platform. Mereka bicara tentang keluarga dan saling bertukar pandangan tentang keluarga untuk mendukung satu sama lain. Semua karya itu atas nama keluarga.
SERFAC menyatukan orang-orang yang berkarya bersama keluarga untuk mendukung dan mendorong mereka, membuat mereka tahu bahwa orang lain juga berkarya bagi keluarga. Ini penting karena berkarya bersama keluarga itu tidak mudah.
Bagaimana pusat itu beroperasi?
Kami telah mengelola institusi itu selama dua dekade, dan kini memiliki sembilan staf full-time. Kami mengelolanya dengan bantuan bukan dari hierarki Gereja tapi dari lembaga-lembaga penggalang dana dan para donor domestik.
Sulit untuk mengatakan bahwa kami punya banyak kesulitan besar. Namun, yang ingin saya fokuskan adalah bahwa saat-saat yang paling mendorong bagi kami adalah ketika kami melihat karya kami membawa kebahagiaan bagi para pasangan suami-istri yang sedang berselisih. Kami membantu mereka menemukan makna sesungguhnya dari hubungan dan kebahagiaan hidup berkeluarga ketika mereka menghadapi berbagai kesulitan.
Apa masalah utama keluarga India dewasa ini?
Masalah yang paling menantang yang saya temukan adalah membantu orang-orang untuk diakui sebagai pribadi-pribadi manusia dengan identitas, makna, dan nilai-nilai mereka sendiri, yang mengangkat mereka dari anonimitas ke sebuah wilayah yang diakui sebagai seorang pribadi manusia.
Selain itu, globalisasi memberi dampak negatif terhadap keluarga, khususnya kaum miskin. Misalnya, biaya hidup semakin tinggi, dan kaum miskin tidak bisa lagi membeli kebutuhan pokok. Globalisasi telah membawa teknologi baru dan sistem-sistem nilai baru ke dalam lingkaran keluarga.
Meskipun kami melakukan sesuatu bagi kaum miskin dan keluarganya, kami tidak melakukan apa yang diberikan oleh karya sosial atau pelayanan sosial. Pelayanan sosial dan pelayanan keluarga merupakan dua bentuk pelayanan yang berbeda. Pelayanan keluarga berkaitan dengan upaya menjalin hubungan di tingkat keluarga, sedangkan pelayanan sosial adalah tentang pemberian bantuan berupa materi.
Keduanya bisa saja dipadukan, tapi ini cukup sulit dilakukan dan kami tidak biasa melakukannya. Jika perlu, kami memanggil para pekerja sosial untuk mengadakan program-program yang sesuai guna membantu para pasangan suami-istri dan keluarga-keluarga secara materi.
Dokumen kerja Sidang Umum FABC menyebut patriarkat dalam keluarga dan masyarakat. Apakah Anda juga melihat sistem ini dalam Gereja?
Ini adalah isu sensitif. Distribusi yang tepat tentang kekuatan dari semua bidang, termasuk Gereja, menjadi penting. Namun distribusi kekuatan yang tidak seimbang mulai terjadi di rumah, di mana anak laki-laki lebih disukai dan anak perempuan direndahkan. Ketidakseimbangan seperti ini mulai terjadi di rumah, dan terbawa ke dalam Gereja. Maka Anda harus betul-betul menghentikannya pertama kali dari rumah.
Bagaimana Anda merespon banyak perkawinan antaragama di Asia?
Pendidikan yang tepat tentang persiapan perkawinan merupakan salah satu dari banyak hal paling urgen bagi kaum muda. Jika terjadi perkawinan antaragama, proses persiapan hendaknya berfokus pada orangnya terlebih dahulu, bukan agamanya. Dengan kata lain, jika seseorang mencintai orang lain, ia bisa menerima perbedaan agama lain tanpa mengubah agamanya sendiri. Penerimaan seseorang yang memiliki iman yang berbeda hendaknya dimasukkan ke dalam persiapan perkawinan. Pandangan bahwa perbedaan itu masalah, membuat segala sesuatu menjadi problematis. Hidup saja sudah sangat berbeda, dan kita harus mulai menghargai perbedaan.
Apakah Anda setuju bahwa keluarga hendaknya tidak "diidealkan" mengingat realitas bahwa banyak perempuan dan anak-anak dipaksa untuk bekerja?
Meskipun kemiskinan mungkin memaksa sejumlah perempuan dan anak-anak terjun ke dunia prostitusi atau buruh anak, semua keluarga terpanggil untuk panggilan perkawinan. Kita harus realistis, tapi juga menemukan keindahan panggilan perkawinan. Masalahnya adalah bahwa kita tidak melihat keluarga sebagai suatu bagian yang indah dan menakjubkan dari ciptaan Allah. Kita masih punya kewajiban untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan kita.
Surat Vatikan yang terbaru tentang "Kerjasama Laki-Laki dan Perempuan Dalam Gereja dan Di Dunia" menyinggung soal peranan laki-laki dan perempuan yang dibedakan secara biologis.
Saya setuju dengan hal itu karena ada banyak peranan berdasarkan perbedaan biologis. Kita tidak bisa lari dari kenyataan dasar biologi. Tapi kita seharusnya tidak membiarkan peranan ini turut campur dalam hubungan dan kesetaraan. Soal kesetaraan, tidak ada kelompok perempuan yang bisa sukses tanpa berusaha menghargai gender laki-laki dan perempuan dan perbedaan di antara mereka.
Peranan perempuan berdasarkan perbedaan biologis dalam keluarga dan masyarakat terlalu ditekankan di masa lalu. Dewasa ini, saya kira kita hampir membuat kesalahan yang sama, terlalu menekankan sisi lainnya. Baik laki-laki maupun perempuan punya kepriaan dan kewanitaan dalam diri mereka masing-masing.
UCAN
>
|