Hidup dan Kepausan Paus Yohanes Paulus II, Karol Josef Wojtyla (1920-2005)
Manusia Pembawa Damai
Saturday, Apr. 9, 2005 Posted: 12:23:22PM PST
Jutaan orang menyaksikan pemakaman salah seorang pemimpin relijius yang paling berpengaruh dalam abad 20, dalam suatu proses pemakaman terbesar pada era ini. Pemakaman almarhum Paus Yohanes Paulus II, pemimpin 1,1 milyar umat Katolik Roma, Jumat, 8 April, disaksikan oleh sekitar 1 milyar pemirsa melalui layar televisi. Sekitar 80 pemimpin negara hadir, disertai para pemimpin relijius dunia dan tokoh-tokoh dunia. Hidup dan karisma Paus diakui tidak hanya oleh umat Kristiani, tetapi juga oleh masyarakat dunia, melampaui batas agama, suku, asal-usul, dan negara.
Hidup dari Karol Josef Wojtyla, yang lebih dikenal sebagai Paus Yohanes Paulus II, menyatakan harapan dan kekuatan bagi banyak orang di seluruh dunia. Jutaan orang berkabung atas kepergiannya.
Walaupun hidupnya tidak biasa dan bermomentum setelah naiknya ia ke tahta kepausan pada tahun 1978 pada usia 58 tahun, tahun-tahun yang memimpin kepada titik itu membantu untuk membentuk dia.
Dari awal yang sederhana dari kota di luar ibukota Polandia, Krakow, sampai kematian hampir seluruh anggota keluarganya pada usianya yang muda 20 tahun, sampai kepada penganiayaan dari Nazi Jerman yang datang di negara itu pada tahun 1940an dan hidup sebagai orang dewasa di negara komunis, awal-awal tahun kehidupan Karol Josef Wojtyla menyediakan latar belakang untuk membentuk seorang pria, yang bagi banyak orang, dinyatakan sebagai pemimpin moral dan Kristiani yang luar biasa.
Persahabatan Masa Muda
Karol Josef Wojtyla lahir di Wadowice, Polandia pada tanggal 18 Mei 1920. Ayahnya, Karol Wojtyla, (dibaca voy-TIH-wah) adalah mantan prajurit dan juga penjahit. Ibunya, Emilia Kaczorowska Wojtyla, adalah guru sekolah.
Wadowice terletak sekitar 35 mil dari ibukota Krakow. Populasi pada saat itu terdiri dari 8.000 orang pengikut katolik dan 2.000 orang Yahudi.
Dia tumbuh di apartemen dua lantai sederhana yang dimiliki oleh sebuah keluarga Yahudi.
Salah satu teman masa kecilnya, seorang Yahudi, mengingat permainan sepakbola yang biasanya mereka mainkan. Pertandingan itu biasanya Katolik vs Yahudi. Kluger mengatakan Karol Wojtyla muda akan secara sukarela bermain untuk pihak Yahudi, bahkan di lapangan.
“Biasanya tidak ada cukup (anak) Yahudi, jadi seseorang harus bermain untuk pihak Yahudi, dan dia selalu sepertinya siap, ya kamu tahu,”kata Kluger dalam suatu wawancara dengan CNN tahun 2003.
Persahabatan itu dilanjutkan saat tahun 1993, ketika saat itu Klugerlah yang dipanggil Yohanes Paulus II untuk bertindak sebagai pengantara antar Israel dan Vatikan dalam negosiasi-negosiasi yang memimpin Vatikan untuk menghadiahkan Israel hubungan diplomatik formal, menurut New York Times.
Kehilangan Masa Muda
Pada masa muda, ia suka berenang di Sungai Skawa dan seorang pemain bola yang sering berhenti untuk berdoa dalamperjalanannya ke sekolah, menurut LA Times.
Namun kematian saudara-saudaranya membuat kehidupannya berbeda dengan anak-anak lain. Sebelum ia lahir, kakak perempuannya meninggal. Pada tahun 1929, sebulan sebelum hari ulang tahunnya yang ke-9, ibunya wafat karena sakit jantung. Ia mengikuti Komuni Kudus pada bulan yang sama. Di usia 12 tahun, kakak laki-lakinya meninggal akibat demam.
Karol kecil juga hampir tewas dua kali. Sekali karena tertabrak mobil dan kedua tertabrak truk tahun 1944.
"Masa muda Paus bukan masa yang menyenangkan," kata Pastor Joseph Vandrisse dari Perancis. "Ia banyak merenungkan arti penderitaan," katanya.
Sepeninggalan anggota keluarga yang lain, ia dibesarkan oleh ayahnya dan hidup sederhana di sebuah Spartan, apartemen satu kamar di belakang gereja.
Lulus dari sekolah menengah tahun 1938, Lolek dan ayahnya pindah ke Krakow, tempat ia belajar sastra dan filsafat di Universitas Jagiellonian. Di sana ia bergabung dengan kelompok pembaca puisi dan kelompok diskusi sastra. "Ia seorang aktor hebat dan penyanyi berbakat," kata beberapa temannya.
Ia selamat dari pendudukan Jerman dengan bekerja sebagai seorang pemotong batu pada tahun 1940.
Pada Februari 1941, ayahnya yang merupakan penganut Katolik taat, meninggal dunia tanpa sempat terkabul keinginannya melihat anaknya mendedikasikan hidupnya untuk melayani Tuhan.
Akademis yang Bersemangat, Menjanjikan Kenaikan
18 bulan berikutnya, Wojtyla mulai memenuhi harapan ayahnya dengan belajar di seminari bawah tanah di Krakow, sekaligus belajar teologi di universitas. Ia harus belajar sembunyi-sembunyi karena adanya larangan dari penguasa Jerman saat itu. Dia belajar sembari bekerja di sebuah pabrik hingga Agustus 1944. Namun, ketika tentara Jerman mulai menangkapi pemuda-pemuda Polandia, Wojtyla bersembunyi di rumah Uskup Krakow hingga perang berakhir.
Ia ditahbiskan sebagai asisten pastor di Krakow tahun 1946. Tahun 1948 ia mendapatkan gelar doktor dalam etika.
Pada tahun 1953, ia memperoleh gelar doktor dalam teologi dan mula mengar pada seminar gereja di Krakow. Dia juga menjadi seorang professor dan mengepalai departemen filsafat di Universitas Katolik di Lublin tahun 1954.
Wojtyla naik secara pesat melalui hirarki gereja setelah ini, menjadi pembantu uskup pada tahun 1958 dan uskup pada tahun 1964. Pada tahun 1967, Paus Paulus VI menjadikan Wojtyla seorang kardinal.
Ia menentang komunisme tetapi penunjukkannya disambut oleh pemerintah Plandia yang melihat Wojtyla sebagai “keras tapi fleksible” dan sebagai seorang reformator moderat, menurut CNN.
Biografi saat itu menyebutkan Wojtyla sebagai “musuh dari komunisme dan pemenang dalam hak asasi manusia, penginjil yang berkuasa dan intelektual yang rendah hati yang mampu mengalahkan Marxists dalam bahasa mereka sendiri.”
Saat ditanya apakah dia takut akan larangan pejabat pemerintahan, Wojtyla membalas, “Saya tidak takut akan mereka. Mereka yang takut akan saya,” menurut CNN.
Pada tahun-tahun yang mengikuti penunjukkannya sebagai kardinal, Wojtyla dikenal luas sebagai pribadi yang inteletual, administrator dan penggalang dana.
Pada tahun 1978, setelah Yohanes Paulus I wafat secara tidak diduga 33 hari setelah menjadi Paus, para Kardinal di seluruh dunia berkumpul untuk memilih penggantinya. Ketika para kardinal tidak bisa menemukan kata sepakat setelah tujuh kali pemungutan suara, pada putaran voting ke delapan muncul nama Wojtyla. Ia terpilih. Menurut CNN, ia menerima hasil pemilihan itu dengan mata berkaca-kaca. Pada tanggal 16 Oktober 1978, ia ditahbiskan sebagai Paus.
Ia menjadi paus termuda setelah lebih dari 120 tahun dan merupakan paus non Italia pertama setelah Adrian VI dari Belanda dipilih tahun 1522.
Kepausan yang Karismatik
Sebagai paus, Yohanes Paulus II menjadi seorang paus yang melakukan perjalan terbanyak ke luar negeri. Ia mengunjungi 125 negara dalam jangka waktu 26 tahun. Ia menarik jutaan masa. Ia juga berbicara multi bahasa, dapat berbicara dalam 8 bahasa.
Yohanes Paulus II menyatakan karisma yang besar. Pengarang buku , “The Making of Popes 1978,” Andrew M. Greely menulis gaya paus hadir di tengah kerumunan, "Gerekannya, kehadirannya, senyumnya, keramahannya, sikapnya … menyenangkan siapapun. ... Ia luar biasa di tengah-tengah kerumunan --- berjabatan tangan, tersenyum, berbincang, mencium bayi-bayi,” menurut CNN.
Saat dia kembali ke Polandia tahun 1997, LA Times melaporkan saat pemunculannya, kerumunan menjadi diam, “beberapa orang jatuh berlutut dan menangis saat Yohanes Paulus berjalan menuju altar.”
Ia adalah paus yang bersemangat bahkan sebelum kesehatannya mulai menurun.
“Ia tampaknya tidak mampu untuk menyia-nyiakan satu menit. Saya tidak pernah melihatnya jatuh dalam kesedihan ataupun tegang, “ kata juru bicara kepausan, Joaquin Navarro-Valls suatu ketika.
Bahkan pemimpin Kuba yang keras Fidel Castro, dikenal selalu mengenakan pakaian militer hijau zaitun, mengenakan pakaian resmi ketika Yohanes Paulus II mengunjungi negaranya pada tahun 1998.
Mengikutsertakan Dunia
Paus melibatkan dirinya sendiri dalam isu-isu luas, terutama dalam hak asasi manusia.
“Keterlibatannya sebagai paus bukan anya untuk menyebarkan injil, untuk menyebarkan iman, tetapi juga untuk mentransformasi kepausan Roma menjadi juru bicara hak asasi manusia,” kata Marco Politi, pengarang buku “His Holiness,” kepada CNN tahun 2003.
Ia mengkritik diktator Alfred Stroessner di Paraguay, Agusto Pinochet di Chili dan Ferdinand Marcos di Filipina.
Ia membantu mempercepat kejatuhan komunis dengan mendukung gerakan Solidaritas disana.
Kunjungan Paus ke negara asalnya Polandia pada tahun 1979 menarik kerumunan yang kemudian bertekad merubah pemerintah mereka. Ini mempercepat kehatuhan Uni Soviet dan Sekutunya di Eropa Timur, menurut Associated Press.
Ia juga mengkritik Barat saat kunjungan pertamanya ke Amerika Serikat, ia memperingatkan bangsa itu tentang bahaya dari paham materialisme, egoisme dan sekularisme.
Ia juga yang mengusulkan penurunan standar hidup mereka dan berbagi kekayaan dengan dunia ketiga.
Ia menegaskan paham materialisme bukanlah jawaban. " Dunia ini tidaklah mampu membuat orang bahagia," kata Yohanes Paulus. Ia memandang hubungan dengan Tuhan sebagai pengejaran yang utama dalam hidup. Ia berdoa sangat sering sehingga dikatakan ia membuat keputusan " pada lututnya," kata CNN.
Suara untuk Konservatisme Religius, yang Sosial
Tema yang terkemuka lain dalam masa jabatan kepausan Yohanes Paulus adalah cara pendiriannya yang konservatif atas isu sosial dan doktrin gereja. Ia absolute menolak total pengguguran dan kontrasepsi, yang mana banyak mengasingkan banyak Katolik.
Ketika ia datang dalam kekuasaan dan ia telah dipilih, ia menyadari bahwa satu hal ia harus lebih dulu lakukan adalah untuk memugar kembali kejelasan ke ajaran Katholik. Dan ia mengatakan, ' OK, barangkali mereka tidak akan patuh, barangkali mereka tidak akan menerima, tetapi setidaknya mereka akan mengetahui apa yang gereja wakili," kata Wilton Wynn, pengarang dari "Keeper Of The Keys," dalam suatu wawancara dengan CNN.
Paus suatu ketika berbicara dengan Time, " Adalah suatu kesalahan untuk mengaplikasikan prosedur demokratis Amerika ke (dalam) iman dan kebenaran." Ia menambahkan, " Kamu tidak bisa mengambil suatu voting tentang kebenaran."
Paus adalah juga aktif dalam mendiamkan pandangan yang liberal di dalam Katolikisme. "Gereja tidak bisa menjadi suatu asosiasi dari free thinkers (pemikir bebas)," ia berkata di tahun 1981, menurut CNN
Ia juga dengan sepenuhnya menentang pengguguran dan euthanasia. Dalam suatu surat ia mengutuk " kultur dari kematian," ia berkata pengguguran itu " selalu mendasari suatu kekacauan moral sejak secara terbuka membunuh manusia yang tidak bersalah secara sengaja,' kata Paus, menurut CNN.
Isu-isu sosial lain yang ia pertentangkan adalah pembuahan buatan, hubungan seksual di luar perkawinan, dan hubungan homoseksual- meski demikian ia menghimbau toleransi untuk homoseksual.
Selama masa jabatannya, ia menolak untuk mentahbiskan wanita, berkata bahwa gereja harus mengikuti contoh dari Yesus yang hanya memilih pria sebagai rasul-rasulnya, menurut AP
Ia juga menekankan kebutuhan akan alim ulama (Katolik) untuk melakukan selibat.
Mengikuti Jalan Perdamaian
Walaupun warisan Yohanes Paulus pastilah meliputi usaha-usahanya pada perdamaian dengan Kristiani yang lain, dan bahkan dialog-dialog antar agama, satu contoh dari pengertian pribadi Yohanes Paulus akan harapan untuk mengatur hal-hal menjadi benar kembali adalah pengampunan yang ia tunjukkan bagi orang yang mencoba untuk membunuh dia di tahun 1981.
Pada 13 Mei tahun itu, selagi memasuki Lapangan St. Peter untuk bertemu dengan yang hadir, seorang penembang dari Turki yang bernama Mehmet Ali Agca menembak Sri Paus, hampir membunuh dia. Pada tahun yang sama, dua hari setelah Natal, paus pergi ke penjara di mana orang yang akan membunuhnya tinggal dan mengadakan suatu percakapan dengan dia. Keduanya berbicara pelan-pelan dan sekali-kali, Agca tertawa, menurut Time. Paus memaafkan dia.
Paus mencari perdamaian dengan berbagai cabang dari Kekristenan, termasuk Kaum Orthodox timur dan gereja Anglikan. Akan tetapi, keputusan Gereja Inggris untuk mentahbiskan wanita di tahun 1992 dan keputusan Episkopal untuk memilih uskup gay yang terbuka pada tahun 2004 mungkin telah merintangi usaha-usaha itu.
Paus juga menggapai Yahudi, di depan umum meminta pengampunan Tuhan untuk penyiksaan Yahudi oleh orang Katolik sepanjang waktu. Di tahun 1993, Vatikan menetapkan hubungan diplomatik formal dengan Israel.
Mengunjungi Israel bulan Maret 2000 ia berdiri di Bethlehem, tempat kelahiran Yesus. Ia juga berdiri pada suatu tempat yang memperlihatkan sungai Galilea yang dikatakan bahwa Yesus mengajarkan Kotbah di Atas Bukit.
Dari perjalanan ke Yerusalem, Time mengatakan ia menulis, " Untuk pergi dalam roh doa dari satu tempat ke lain, dari satu kota ke yang lain, membantu kita tidak hanya untuk menghidupi kehidupan kita sebagai suatu perjalanan."
Itu " juga memberi kita suatu perasaan tentang Tuhan yang telah mendahului kita dan memimpin kita mengenal jalan manusia, Tuhan yang tidak meremehkan kita dari tempat tinggi, tetapi yang menjadi rekan perjalanan kita.”
>
Sandra Pasaribu
sandra@christianpost.co.id
|