Harapan pada Paus Benediktus XVI
Oleh: Rm Benny Susetyo Pr
Tuesday, May. 3, 2005 Posted: 8:58:52PM PST

Setelah hampir dua hari (19/04)115 kardinal mengasingkan diri untuk berkonklaf memilih Paus baru, mereka berhasil memilih pengganti Yohannes Paulus II. Habemus papam atau ”kita memilih seorang Paus”, terdengar tidak lama setelah asap putih keluar dari kapel Sistina di Vatikan. Pilihan jatuh pada seorang calon yang dikenal konservatif, Kardinal Jerman Joseph Ratzinger yang memilih gelar Benediktus XVI.
Diperkirakan Paus baru ini akan melanjutkan kebijakan pendahulunya, tetapi juga berusaha menampilkan diri sebagai Paus perdamaian. Pilihan gelar Benediktus menurut para analis juga mengarah ke perdamaian. Sewaktu perang dunia pertama Paus Benediktus ke-15, berusaha mendekatkan pihak-pihak yang bertikai. Selain itu ia mencoba mendekatkan aliran-aliran ajaran Katolik yang bertikai di Vatikan untuk bersatu. Karena usia Ratzinger yang sudah lanjut, kemungkinan ia dipilih untuk menjadi Paus antara, yang bertugas untuk melanjutkan kebijakan tetapi tidak akan berkuasa terlalu lama seperti Yohannes Paulus II bagi perdamaian dunia.
Tugas yang diembannya di masa mendatang bukan saja sebagai penjaga gawang moralitas kehidupan umat manusia, namun yang lebih mendasar bagaimana ia menjadi jembatan untuk membangun tata dunia baru. Saat ini, tata dunia digerakkan oleh pasar global yang tidak mengenal welas asih bagi sesamanya. Ideologi kapitalisme lebih menguntungkan negara yang kuat untuk tetap survival, sementara negara yang miskin perlahan-lahan akan musnah.
”Gaudium et Specs”
Melalui kepanjangan tangan lembaga-lembaga keuangan internasional, negara-negara industri memaksakan kebijakan-kebijakan politik dan ekonominya kepada negara-negara miskin. Utang-utang yang membebani negara-negara underdeveloped menjadi jerat yang mematikan, sehingga negara berkembang akan sulit mengejar ketertinggalan dan keterpurukan mereka. Negara-negara berkembang sekarang dikuasai para pemilik modal dari negara-negara industri. Sekelompok kecil orang justru tampil mendiktekan jenis kebijakan yang harus diambil oleh penguasa negara yang mendapat mandat dari rakyat (Wibowo:2003).
Dengan maksud pelunasan utang, masyarakat miskin justru harus menanggung beban biaya hidup yang lebih berat dengan dihentikannya subsidi listrik, minyak dan kesehatan. Persoalan kebijakan drop-dropan inilah yang sering kali tidak menyentuh persoalan dan kebutuhan warga masyarakat.
Belum lagi privatisasi perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan kepentingan hajat orang banyak. Dengan maksud memberlakukan mekansime pasar yang mengatur produksi dan distribusi, kebijakan privatisasi justru telah menciptakan perlindungan bagi pemilik modal untuk menghisap masyarakat.
Kiranya persoalan-persoalan sosial inilah yang harus dihadapi oleh Paus yang baru. Tidak dapat disangkal persoalan moralitas dan dogmatis masih akan menjadi perdebatan yang panjang. Namun titik berat untuk mengatasi kemiskinan negara-negara tertinggal merupakan panggilan suci dalam menuntun umat manusia ke depan.
Seperti yang tertuang dalam Gaudium et Specs bahwa suka duka dan kegembiraan dunia juga bagian dari suka duka dan kegembiraan Gereja. Harapan untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial menjadi fokus utama, dan Gereja tidak dapat tinggal diam dalam persoalan ketidakadilan yang menimpa dunia ketiga.
Sebagaimana dahulu kehadiran mendiang Paus Yohanes Paulus II pada saat dunia mengalami perang dingin, perlombaan senjata nuklir, Paus mendatang dihadapkan pada masalah-masalah kemiskinan global dan terorisme yang diciptakan oleh tata dunia yang tidak adil. Paus mendatang harus mampu menggemakan dan membumikan lagi ajaran sosial Gereja sejak Rerum Novarum sampai Centimus Annus.
Sekarang ini lebih dari masa lalu, Gereja menyadari bahwa pesan sosialnya akan memperoleh kredibilitas lebih langsung dari kesaksian tindakan daripada hasil logika dan konsistensi internalnya. Kesadaran inilah yang juga merupakan suatu sumber dari pilihannya untuk mendahulukan orang miskin yang tidak pernah eksklusif atau membeda-bedakan kelompok-kelompok lain (CA, 57).
Si Miskin
Artinya, perwartaan dan penghayatan Injil mencapai kepenuhannya bila penegakan keadilan, menghadirkan wajah Yesus yang menderita pada para korban, yang tersingkirkan dan terbuang. Gereja menghayati iman panggilan untuk membela yang miskin, dan menderita sebagaimana telah diamanatkan oleh Yesus, sebagai Imam Agung. Yesus memberikan dirinya untuk penebusan atas dosa struktural yang merusak hubungan Allah dengan manusia, manusia yang satu dengan yang lain.
Yesus membongkar kemapanan para pemuka agama yang hanya berada di seputar altar persembahan, tanpa mau berjerih lelah bertindak melawan ketidak-adilan yang melumpuhkan dan mematikan masyarakat jaman-Nya.
Sudah lewat masanya untuk menempatkan para pemimpin agama atau pemuka masyarakat sebagai sosok yang harus dilayani, diposisikan dalam singgasana emas kekuasaan yang tak tersentuh. Jaman di mana dunia sedang tercabik-cabik oleh ketidakadilan, hanya dibutuhkan sosok pemimpin yang mau turun ke bumi, menyapa setiap orang yang menderita, memberikan dirinya menempuh risiko agar tata dunia baru terlaksana. Kami butuh pemimpin yang menjadi pelayan dari pelayan Allah (servus servorum dei).
Inilah harapan umat manusia yang ada di dunia ini merindukan sosok Paus memiliki kepedulian kepada dunia ketiga dengan segala persoalannya. Yang mendasar adalah bagaimana ia mampu memberikan sumbangan bagi Gereja dan dunia khususnya mengurangi jurang kaya dan miskin.
Hal ini merupakan panggilan yang akan datang membawa peradaban dunia menuju tata dunia baru. Tata dunia yang didasari oleh kesepakatan perdamaian di antara bangsa. Dimana tidak ada lagi penguasa dunia yang memiliki kuasa dominan untuk mengatur hidup dan matinya suatu negara.
Harapan ini sekaligus menjadi tugas berat Paus terpilih. Dia harus mampu memberikan orientasi kepada dunia akan tata dunia yang baru yang berlandaskan pada perdamaian dan keadilan.
Semoga Paus Benediktus XVI menyadari bahwa tugas berat ini merupakan bagian dari pelayan menjadi abdi Tuhan di dunia untuk melanjutkan karya menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Allah meraja bila ada cinta kasih yang dimanifestasikan dalam sistem ekonomi yang adil, di mana setiap orang menikmati tersedianya pangan, papan dan sandang. Ini membutuhkan sebuah pembaruan dalam dunia saat ini di mana si miskin harus mendapat prioritas utama.
(Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hak KWI)
Sumber: Sinar Harapan 2003 >
|