Memperingati 150 Tahun Injil di Tanah Papua
Oleh: A.A Yewangoe
Tuesday, Feb. 15, 2005 Posted: 5:17:27AM PST

Minggu pagi itu, ketika fajar merekah, 5 Februari 1855, dua penginjil berkebangsaan Jerman, Carl Wilhem Ottow dan Johan Gottlob Geissler. menginjakkan kaki untuk pertama kali di Pulau Mansinam. Pulau itu terletak di sebelah timur laut "Kepala Burung".
Sambil bertelut, mereka dengan khusyuk mengucapkan "Doa Sulung", yang sampai sekarang tetap diingat setiap orang Papua: "Dalam Nama Tuhan Kami Menginjakkan Kaki di Tanah Ini!" ("Im Namen Gottes betreten wir dieses Land!").
Betapa tidak. Inilah luapan kegembiraan dan keterharuan, ketika perjuangan yang begitu lama dan melelahkan, pada akhirnya membawa mereka ke tempat itu. Geissler menulis: "Kalian tidak dapat membayangkan betapa besarnya suka cita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami. Minggu pagi, jam 6 bersamaan dengan fajar yang merekah jangkar dibuang untuk berlabuh di Teluk Doreri.
Matahari terbit dengan indahnya. Ya, semoga matahari yang sebenarnya, yaitu rahmat Tuhan menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya berada di dalam kegelapan..."
Ya, persiapan untuk tiba di Tanah itu tidak main-main. Secara ketat mereka dipersiapkan, baik fisik maupun mental oleh Yohanes Gossner, pendeta dari Berlin dan Ottho Gerhard Heldring, pendeta tukang. Dua pendeta itu adalah pengeritik keras terhadap cara-cara penginjilan konvensional, yang terlampau menekankan pada pendidikan teologi, profesionalitas, dan besarnya gaji. Bagi Gossner dan Heldring, jauh lebih penting adalah motivasi dan keyakinan kepada Allah bahwa Ia sendirilah yang akan menguatkan hamba-hambanya.
Maka, ketika Minggu pagi itu, setelah menempuh perjalanan dari Jerman selama tiga tahun, dan menginjakkan kaki di Tanah itu, itulah titik-balik penting bahkan menentukan dalam sejarah orang-orang Papua. Cukup alasan untuk melihat Papua sebagai "Tanah Kristen", sebab bukankah Injil yang membawa perubahan dari "gelap" kepada "Terang"? Bahwa dengan dimotivasi oleh cinta-kasih Kristus sebagaimana diberitakan Injil, upaya-upaya pendidikan dan kesehatan dirintis di Tanah Papua, kendati masih sangat sederhana.
Tentu saja itu tidak berarti tidak ada kesulitan. Sebaliknya, luar biasa kesulitan-kesulitan yang mereka alami. Malaria yang ganas mesti dihadapi. Geissler menderita borok bernanah pada kakinya yang tidak sembuh-sembuh. Lalu sakit tuberkulosis yang sulit disembuhkan.
Selain itu sikap permusuhan dari orang-orang Papua yang tidak menyetujui kehadiran mereka, di samping perang-perang antarsuku yang juga membahayakan jiwa keduanya. Dibutuhkan waktu 50 tahun sebelum orang Papua pertama dibaptiskan. Ottow meninggal karena malaria pada 1862, sedangkan Geissler menyusul kemudian sementara ia mengambil cuti di Jerman pada 1870.
Cukup alasan bagi orang-orang Papua menghormati mereka. Banyak institusi dilekatkan pada nama mereka. Salah satunya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Jayapura. Orang-orang Papua tidak dapat lagi melepaskan diri dari semangat kerohanian kedua orang itu, yang diyakini sebagai Pemberita Matahari Sejati.
Itulah pula sebabnya, setiap 5 Februari dirayakan secara luas di seluruh Tanah Papua. Lebih-lebih dalam tiga tahun terakhir ini, di mana seluruh denominasi, termasuk Gereja Katolik Roma di Tanah Papua ikut merayakannya. Hari itu dilihat sebagai "Hari Pekabaran Injil", yang oleh Pemerintah Provinsi Papua dinyatakan sebagai Hari Libur Resmi di seluruh wilayah Papua. Bahkan, peringatan kedatangan kedua penginjil itu dilihat sebagai salah satu ciri khas Papua, lebih-lebih lagi dalam rangka Otonomi Khusus.
Peringatan 150 tahun Injil di Tanah Papua, adalah Tahun Emas Jubelium III. Tidak pantas ia dibiarkan berlalu begitu saja. Maka pada 5 Februari 2005 Perayaan Akbar digelar, baik di Jayapura maupun di Manokwari. Bahkan di Manokwari peringatan itu dihadiri cicit Ottow, Prof Johannes CG Ottow. Perayaan itu ditempatkan di bawah tema: "Damailah Papuaku, Damailah Indonesiaku".
Setahun sebelumnya, Papua dinyatakan sebagai Tanah Damai. Drh Constans Karma, Wakil Gubernur Papua, sekaligus Ketua Panitia HPI, menjelaskan makna tema itu: "Dengan tema ini, kami bermaksud memperkokoh komitmen mewujudkan Papua Tanah Damai, sehingga damai itu tidak sekadar slogan, melainkan menjadi pengalaman hidup setiap individu dan masyarakat di Tanah Papua. Kami juga memiliki keyakinan, bahwa kedamaian di Tanah Papua akan mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya kedamaian di seluruh wilayah tanah air Indonesia".
Jelas, orang-orang Papua tidak ingin selalu diasosiasikan sebagai pembuat keributan. Tidak demikian. Dalam keyakinan kepada Injil, mereka justru hendak memperlihatkan, perdamaianlah yang menguasai kehidupan mereka. Perdamaian itu pula yang hendak ditularkan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Kalau perdamaian sejati terwujud di Papua, dengan sendirinya juga seluruh wilayah Indonesia mengalami damai-sejahtera itu. Dengan ini, sekaligus juga mereka mau menekankan, Tanah Papua tidak pernah boleh dilihat sebagai yang tertutup, yang terisolasi, dan yang selalu dikonotasikan sebagai potensial memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, kesatuan yang dimaksudkan bukanlah kesatuan yang dipaksakan.
Perasaan kesatuan itu mestilah bertumbuh, dengan adanya saling percaya. Maka tema ini juga mengandung di dalamnya tuntutan kepada Pemerintah Pusat supaya keadilan sungguh-sungguh diwujudkan bagi seluruh rakyat Papua, dengan menerapkan secara konsekuen dan konsisten UU Otonomi Khusus Papua.
Oleh masyarakat Papua UU itu diibaratkan sebagai mas kawin, yang tidak pernah boleh dikembalikan kalau tidak ingin suatu perkawinan bubar.
Kendati disebut "Tanah Kristen", itu tidak berarti Papua tertutup bagi saudara-saudara yang tidak beragama Kristen. Atau semacam "Syariat Kristen" hendak diterapkan, sehingga dengan demikian tercipta sebuah ghetto Kristen di provinsi paling timur Nusantara ini. Tidak demikian.
Yang dimaksud adalah nilai-nilai cinta-kasih sebagaimana diajarkan oleh Yesus Kristus, yang sekaligus juga merupakan nilai-nilai universal menguasai peri-hidup, peri-laku, dan kinerja setiap orang yang hidup di Tanah Papua. Maka adalah kewajiban semua orang yang hidup di Tanah Papua untuk memelihara kehidupan yang penuh cinta-kasih dan damai-sejahtera di antara sesamanya, tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.
Nilai-nilai yang diberitakan oleh Ottow dan Geissler 150 tahun lalu, dan yang setiap tahun direaktualisasikan diharapkan dapat menghantar setiap orang yang hidup di Papua untuk hidup dalam perdamaian dengan semua orang, dan selalu merupakan kabar baik bagi yang lainnya. Rupanya keyakinan itu pula yang diwujudkan, sehingga peringatan 150 tahun masuknya Injil di Tanah Papua juga dirayakan lintas-agama. Diharapkan semua orang dapat memetik nilai-nilai cinta-kasih di dalamnya dan mengamalkannya.
Hitungan 150 tahun setelah Injil masuk Papua, sungguh-sungguhkah telah mengubah orang-orang Papua ke arah kehidupan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Injil yang luhur itu? Bahwa ada perubahan-perubahan, tentu saja tidak dapat disangkal. Namun, masih banyak jugahal yang mesti dilakukan.
Mabuk-mabukan, prostitusi, merebaknya narkoba dan HIV/AIDS adalah penyakit-penyakit sosial yang terus membutuhkan penanganan serius di masa depan. Maka tugas pemerintah, sekaligus juga agama-agama menjadi makin berat di masa-masa mendatang. Mudah-mudahan fajar benar-benar menyingsing dan memberi kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di Tanah ini.
Andreas A Yewangoe
Penulis adalah Ketua Umum PGI
>
|