Doa bagi SR XIV PGI
Oleh: Weinata Sairin
Sunday, Nov. 28, 2004 Posted: 9:16:06PM PST

Dalam agenda oikumene secara nasional, pada bulan November dan Desember ini ada perhelatan besar yang dilaksanakan oleh gereja-gereja di Indonesia. Ada Pertemuan Raya Pemuda Gereja dan Pertemuan Raya Wanita Gereja yang dilaksanakan secara pararel tanggal 24 - 27 November 2004, dan kulminasinya adalah Sidang Raya XIV PGI tanggal 30 November sampai 4 Desember 2004 di Wisma Kinasih, Bogor.
Sidang Raya PGI XIV sebenarnya baru akan dilaksanakan Mei 2005, namun kondisi internal PGI mengharuskan dilaksanakan percepatan, agar PGI mampu tampil secara baru dan energik dalam merespons perubahan zaman.
Sidang MPL PGI Toraja 2002 menyatakan dengan tegas pentingnya diwujudkan kinerja MPH PGI yang harmonis dan itu akan dinilai dalam sidang MPL PGI 2003. Apabila ternyata MPH PGI gagal melaksanakan keputusan tersebut, maka sidang MPL PGI 2003 segera menetapkan pelaksanaan Sidang Raya PGI Istimewa akhir tahun 2003 atau awal tahun 2004. (Buku Daftar Keputusan Sidang MPL PGI, Tana Toraja, 2002, PGI Jakarta 2003).
Sidang Raya PGI XIV PGI di Wisma Kinasih 30 November - 4 Desember 2004 adalah pelaksanaan dari Keputusan Sidang MPL PGI 2002, sebagai Sidang Raya PGI Istimewa. Istilah Sidang Raya Istimewa memang tepat dan legitim sesuai dengan rumusan Tata Dasar PGI pasal 12 ayat 5.
Tujuan yang khas dan unik dari lembaga PGI tercermin dalam konstitusinya yaitu "Pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia" (AD 1950 Pasal 3). Tujuan seperti ini tidak terdapat dalam Anggaran Dasar dewan gereja yang lain di dunia. Dengan perumusan tujuan itu, maka PGI hanya beranggotakan gereja dan tidak menerima organisasi, yayasan, lembaga lain sebagai anggota.
Oleh karena itu acap kali sering terjadi kesalahan tafsir, seolah-olah lembaga PGI itu tidak mewakili aspirasi umat kristen karena hanya beranggotakan 80 gereja/Pusat Sinode, sementara lembaga yang terdaftar di Ditjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama lebih dari 250 lembaga.
Padahal dalam kenyataan, ada perbedaan mencolok yaitu walaupun PGI hanya beranggotaan 80, namun kesemuanya adalah gereja/sinode dengan anggota antara 10.000 hingga 2,5 juta orang per Sinode, sedangkan lembaga yang terdaftar di Departemen Agama tidak hanya gereja tetapi juga Yayasan, Organisasi Kristiani yang keanggotaannya secara menyeluruh berada di bawah jumlah total dari gereja-gereja anggota PGI.
Dengan hanya menerima organisasi gereja sebagai anggota, maka upaya membentuk Gereja Kristen Yang Esa (sesuai dengan tujuan PGI) menjadi lebih terkonsentrasi, walaupun tidak berarti merupakan sesuatu yang mudah. Fokus utama dari eksistensi PGI adalah mewujudkan keesaan gereja agar melalui keesaan itu potensi gereja-gereja dapat benar-benar digalang, dikoordinasi sehingga mampu menampilkan kinerja yang terbaik di tengah kehidupan bangsa.
Upaya yang dilakukan oleh PGI bersama-sama gereja-gereja sejak 1950 dalam mewujudkan keesaan perlu direvitalisasi agar keesaan tidak berubah menjadi motto, simbol tanpa makna. Upaya mewujudkan keesaan juga tidak boleh direduksi dan dipolitisasi menjadi proyek dari sesorang yang ingin tampil menjadi pimpinan PGI.
Keesaan gereja harus dipahami sebagai tekad, komitmen dari gereja-gereja untuk diwujudkan, diaktualisasikan sehingga melaluinya kehadiran dan peran gereja-gereja dalam masyarakat majemuk Indonesia makin dirasakan. Naskah Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang dihasilkan di SR X PGI di Ambon 1984 direvisi di Surabaya 1989, di Jayapura 1994 masih tetap memadai.
Nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya masih amat relevansi hanya bahasanya harus lebih disederhanakan sehingga warga jemaat dapat mencerna isinya untuk kemudian dilaksanakan dengan kosisten. Tugas Sidang Raya adalah membarui, meneguhkan ulang dan memantapkan komitmen gereja-gereja di Indonesia dalam mewujudkan keesaan, dengan segala konsekuensinya.
Sidang Raya XIV PGI yang dilaksanakan di tengah-tengah era pemerintahan baru memiliki makna yang amat penting dan strategis. Gereja-gereja dan umat Kristen berdoa agar Sidang Raya dapat berjalan dengan lancar dan mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang cerdas dan bernas, yang akan membawa kemaslahatan bagi umat Kristen Indonesia, bahan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.
Melalui Sidang Raya diharapkan beberapa hal mendasar digumulkan. Eksistensi PGI sebagai lembaga grejawi harus diteguhkan ulang.
Itu berarti rekrutmen kepemimpinan harus dilakukan secara grejawi dan benar-benar bebas dari penyakit-penyakit dunia sekuler seperti money politic seperti yang disinyalir dalam Sidang Raya 2000.
Kepemimpinan yang solid, rendah hati, takut akan Tuhan, akuntabel, daya akseptabiitas yang tinggi, energik, bervisi masa depan, berwawasan oikumenis dan kebangsaan, amat dibutuhkan untuk memimpin PGI lima tahun kedepan. Sebagai lembaga grejawi, PGI tidak boleh menjadi kendaraan politik dan kekuasaan.
PGI harus menjaga jarak dengan kekuasaan, PGI harus tampil sebagai pengemban aspirasi umat Kristen Indonesia yang acap kali menjadi komunitas terpinggirkan dalam sebuah Indonesia yang majemuk.
Ketika ketentuan perundangan membatasi kebebasan beragama, ketika suasana kebaktian dikacaukan oleh serbuan orang yang tidak bertanggung jawab, bahkan oleh penembakan terhadap pendeta; ketika tempat-tempat kebaktian umat kristen ditutup dan izin pembangunan gedung gereja dipersulit; ketika syariat agama diberlakukan seiring dengan semangat otda; ketika kuasa hegemonik negara mengintervensi otonomi agama; maka PGI tak boleh membisu dan berdiam diri.
PGI sebagai lembaga gerejawi harus menyuarakan suara kenabian dengan lantang. PGI tak boleh PGI tak boleh mengangguk-angguk setuju ketika pemerintah mengubah hari raya keagamaan kristen, tanpa dasar dan tanpa memiliki kewenangan.
PGI juga harus responsif terhadap munculnya berbagai kecenderungan yang bernuansa negatif dalam kehidupan membangsa dan menegara. Ketika korupsi makin merajalela, ketika kekerasan tak bisa padam, ketika konflik terus tersulut diberbagai wilayah, ketika ketidakadilan, pelecehan HAM, diskriminasi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, ketika semangat disintegrasi menggelora dalam bingkai Negara Kesatuan, PGI mesti bersuara.
Doa umat kristen Indonesia bagi SR XIV PGI : "Kiranya Tuhan memulihkan dan membarui PGI agar mampu menjadi berkat bagi umat Kristen Indonesia dan bagi bangsa".
Sejak tahun 1950, PGI berupaya mewujudkan keesaan gereja sesuai dengan apa yang dituntut oleh anggaran dasarnya. Peristiwa signifikan terjadi sesudah debat panjang dan alot selama 34 tahun. Sidang Raya X DGI di Ambon 1984, melahirkan 5 Dokumen Keesaan Gereja (LDKG).
Lima dokumen ini adalah rumusan kesepakatan bersama dari gereja-gereja anggota PGI yang melalui pelaksanaan dokumen itu, keesaan gereja dinampakkan dan diwujudnyatakan. Sayangnya rumusan dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja itu, terutama yang dilahirkan dalam Sidang Raya XIII PGI di Palangkaraya cenderung rumit dan sulit dicerna sehingga menghambat dalam pelaksanaanya.
Dalam Sidang Raya Kinasih 2004 ini, rumusan itu akan dikaji, dievaluasi dan disederhanakan sehingga mampu dilaksanakan oleh seluruh gereja di Indonesia. Mengajak gereja-gereja untuk bersatu terasa memang sulit. Benar apa yang pernah dikatakan Dr TB Simatupang "mempersatukan gereja lebih sulit dari pada mempersatukan tentara".
Agenda kedua adalah merumuskan sumbangan pemikiran PGI dan gereja-gereja sehingga PGI responsif dengan berbagai perkembangan yang terjadi di lingkup nasional dan internasional. PGI tidak boleh terbelenggu oleh sikap introvertdan eksklusif sehingga menutup mata terhadap lingkungan eksternalnya.
Berdasar visi teologisnya yang kukuh PGI bersama gereja-gereja harus dengan sigap dan tanggap mengungkapkan suara kenabiannya ditengah-tengah kehidupan umat sebagau wujud ketaatan kepada Tuhan.
PGI dan gereja-gereja tak bisa diam jika harkat dan martabat manusia makin direndahkan. PGI dan gereja-gereja tak boleh berpangku tangan ketika HAM dilecehkan, ketika lingkungan makin dikotori polusi, ketika hutan makin gundul, ketika buruh dan rakyat kecil tersingkir dan terkapar di tepi-tepi kehidupan, ketika pembangunan melahirkan marginalisasi.
PGI dan gereja-gereja tak bisa tinggal diam ketika NKRI berada dalam bahaya, ketika kuasa negara yang hegomonik telah memasung kebebasan civil society, ketika dasar negara Pancasila secara perlahan berusaha untuk diganti dengan nilai-nilai lain, ketika otonomi daerah menghadirkan primordialisme baru.
Agenda ketiga adalah memilih dan menetapkan para fungsionaris yang layak menjadi pemimpin PGI pada kurun waktu lima tahun kedepan. Selain kualifikasi intelektual yang memadai pemimpin lembaga keagamaan di aras nasional, hendaklah seorang pelayan dan gembala, memiliki wawasan keagamaan dan kebangsaan yang kukuh, memiliki semangat kerja sama yang tinggi, memiliki reputasi yang baik di gereja dan masyarakat.
Sidang Raya PGI 2004 di Kinasih mesti mampu merumuskan ketika agenda itu dengan cerdas dan bernas. Dengan cara itu PGI akan mampu bangkit dan memberi yang terbaik bagi gereja-gereja, masyarakat, bangsa dan negara.
Penulis adalah mantan Pengurus PGI
>
|