HOME Editorial Voice of People
: : VIEW PAGE

Seharusnya Kita Makin Dewasa

Andreas A Yewangoe

Thursday, Aug. 25, 2005 Posted: 6:47:04PM PST

Seharusnya Kita Makin Dewasa

Andreas A Yewangoe

DALAM dua minggu terakhir terdengar kabar bahwa beberapa gedung gereja di Cimahi, Padalarang, Dayeuhkolot, dan Purikembangan diminta untuk ditutup, dan tidak lagi dipergunakan sebagai tempat kebaktian. Konon, pendeta yang sedang memimpin ibadah didorong menghentikan kegiatannya.

Aksi-aksi ini dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Kita tidak tahu persis motivasi di belakang aksi-aksi itu. Yang pasti, orang menjadi resah dengan tindakan-tindakan sepihak ini. Tindakan yang tidak mengindahkan tata-krama pergaulan yang lazim di dalam masyarakat.

Dengan segera terlintas dalam ingatan kita peristiwa di Parung yang menimpa Jemaat Ahmadiyah beberapa waktu lalu. Komunitas ini dikepung dan diminta menghentikan kegiatan-kegiatan mereka. Mereka juga diancam, apabila kegiatannya diteruskan, maka tindakan kekerasan akan diambil. Terpaksa jemaat Ahmadiyah diungsikan oleh alat negara guna menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Tentu saja peristiwa-peristiwa ini menimbulkan serentetan pertanyaan-pertanyaan. Ada apa sesungguhnya dengan masyarakat kita yang cenderung menyelesaikan persoalan dengan ancaman kekerasan? Tidak adakah cara yang lebih lembut untuk menjalin percakapan-percakapan yang berbuah dan produktif bagi semua? Mengapa orang dicegah untuk mengekspresikan keyakinan mereka, sementara UUD 1945 sangat jelas menjamin hal itu? Ke mana negara yang mestinya memberi pengayoman kepada setiap warga negara sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan UUD 1945? Mengapa Pemerintah tidak secara tegas menegakkan hukum yang berkeadilan di negeri yang menjadikan Pancasila sebagai dasarnya?

Sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain dapat dengan mudahnya ditambahkan. Tetapi pertanyaan mendasar berkaitan dengan 60 tahun kemerdekaan kita adalah, sungguh-sungguh telah merdekakah kita? Prof Syafii Ma'arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam SMS yang ditujukan kepada saya menulis: "Merdeka! Kemerdekaan bukan hanya kemerdekaan bangsa, tetapi kemerdekaan seluruh warga lahir-batin, sesuatu yang masih harus diperjuangkan."

Betapa benarnya sinyalemen tokoh Muhammadiyah ini. Kita masih harus terus-menerus memperjuangkan kemerdekaan kita, justru ketika berusaha untuk mewujudkan persaudaraan sejati di negeri ini.

*

KETIKA bangsa dan negara kita telah berusia 60 tahun, dan sekarang menapaki tahun ke-61, mestinya kita telah meninggalkan cara-cara yang kekanak-kanakan dan memasuki usia matang. Kematangan itu diperlihatkan dengan menampilkan cara-cara yang lebih elegan di dalam menjalin relasi di antara anak bangsa yang sangat majemuk ini.

Sesungguhnya kemajemukan bukanlah suatu dosa. Juga bukan sesuatu yang mesti dipersoalkan benar-tidaknya. Kemajemukan, justru adalah berkat, sebab dengan demikian kita bukan saja saling mengenal satu sama lain, tetapi juga mengenal diri kita sendiri. Bahwa "aku" memahami diri sebagai aku, justru karena ada "engkau" yang berinteraksi denganku. Tanpa itu aku tidak pernah bisa mengenal diri.

Orang Jerman mengenal istilah Gegenstand, yang secara harafiah berarti sesuatu atau seseorang yang berdiri di hadapan kita, laksana sebuah cermin untuk mengaca diri. Dalam ceritera dongeng Robinson Crusoe yang terdampar seorang diri di sebuah pulau terpencil, kendati ia berhasil mengusahakan pertanian sederhana untuk menyambung hidupnya, dan berkawan dengan binatang-binatang peliharaannya, toh ia merasa kesepian.

Ia tetap menginginkan seorang manusia lainnya di sampingnya. Perasaan kesepian ini adalah tanda yang sangat jelas bahwa secara alamiah dan naluriah, manusia tidak mungkin hidup sendirian. Hidup sendirian adalah absurditas.

Di dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah terbuka, tidak mungkin lagi kita menjumpai masyarakat yang homogen. Apalagi dengan perkembangan dan mobilitas yang begitu cepat dan tinggi dewasa ini, hidup sendirian adalah anakronistis. Sebaliknya, heterogenitas adalah sesuatu yang makin lazim. Kalau tidak, kita akan terjebak di dalam isolasi diri. Ini artinya mempermiskin diri sendiri.

Demikian juga halnya dengan kehidupan beragama kita. Hampir tidak mungkin lagi kita homogen, kalaupun kita menganut agama yang sama. Bagaimana mempersepsikan suatu ajaran agama di dalam kehidupan nyata tidak mungkin sama persis dari orang yang satu ke orang lainnya, karena titik-berangkat untuk memulai sesuatu pada setiap orang bersifat subjektif. Tentu saja ini tidak ber- arti, kita menafikan hal-hal "objektif" pada (ajaran) agama. Namun yang objektif itu tetap dipahami dan dipersepsikan secara subjektif.

Menyadari kemungkinan ini, kelapangan berpikir dan bertindak sangat perlu. Tidak dengan mudah saja kita menyalahkan pihak lain, hanya atas dasar pemahaman yang berbeda itu. Ini di dalam agama yang sama. Apalagi kalau lintas-agama.

Konstitusi kita menjamin adanya perbedaan-perbedaan itu. Departemen Agama RI mempopulerkan adagium: agree in disagreement. Sepakat bahwa kita tidak sepakat. Maka mestinya sifat asli orang Indonesia yang pernah mempopulerkan mereka ke mancanegara, yaitu tenggang rasa dan tepo sliro dikedepankan.

Kita adalah satu bangsa. Kita mendiami nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Betapa indahnya nyanyian pujaan yang menggugah semangat nasionalisme: "Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia."

Semangat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 telah diabadikan oleh komponis L Manik di dalam lagu, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa kita. Semboyan nasional kita yang diambil dari Mpu Tantular adalah, "Bhinneka Tunggal Ika". Ini semua mestinya mengingatkan kita betapa kayanya keragaman kita, namun tetap satu.

Betapa sayangnya, kalau semangat ini lalu runtuh berantakan, hanya karena kita tidak arif menyikapi perbedaan-perbedaan itu. Jangan-jangan kita sedang membunuh diri kita sendiri, ketika kita merasa diri lebih unggul dari orang- orang lain di sekitar kita.

SUDAH waktunya negara mengambil sikap tegas dengan menegakkan UUD yang menjamin kebebasan bagi setiap orang menyatakan kepercayaan dan keyakinannya di muka umum.

Di era reformasi ini, ketika kita berjuang mewujudkan civil society (masyarakat berkeadaban), negara mesti sungguh-sungguh berpihak pada keadilan dan memajukan perlindungan. Bukan justru terombang-ambing oleh desakan-desakan dari kelompok yang kebetulan sangat vokal meneriakkan tuntutan-tuntutannya. Negara mesti bertindak di atas prinsip-prinsip yang menyeimbangkan kuasa (power), keadilan (justice) dan kasih (love).

Setelah 60 tahun kita merdeka, mestinya tidak ada lagi golongan yang dirugikan oleh golongan lainnya, hanya karena mereka berbeda di dalam agama dan keyakinan. 60 tahun telah cukup untuk kita menjadi bangsa yang dewasa, yang tidak mau menyelesaikan persoalan-persoalan dengan otot, melainkan dengan mengandalkan penegakan hukum yang berkeadilan, dan mengemukakan argumentasi-argumentasi yang masuk akal.

[Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 25 Agustus 2005.]>