Sepanjang tahun 2010 banyak terjadi peristiwa kekerasan berbasis agama yang mengancam keberadaan pluralisme/keberagaman dalam berbagai bentuk.
Peristiwa kelam sepanjang tahun 2010 dapat dilihat dari eskalasi penutupan, penyegelan, dan penyerangan terhadap rumah ibadah yang dilakukan negara dan non-negara. Laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 Juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya jemaat kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2008 terdapat 17 tindakan pelanggaran, lalu pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran yang menyasar jemaat kristiani dalam berbagai bentuk, dan pada tahun 2010 antara Januari–Juli terdapat 28 kasus yang sama.
Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa penyerangan sekelompok masyarakat terhadap Jemaat HKBP Pondok Timur Indah-Bekasi pada bulan Juli dan Agustus 2010 yang lalu, dan yang terakhir adalah penusukan anggota Majelis HKBP Podok Timur Indah, Bapak Asia Sihombing dan penganiayaan pemimpin Jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Pdt Luspida Simanjuntak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 September 2010–disebut dengan peristiwa Ciketing. Kasus ini sedang dalam proses sidang di Pengadilan Negeri Bekasi, sidang pertama dengan pembacaan dakwaan tanggal 29 Desember 2010.
Menurut penilaian Moderate Muslim Society, tahun 2010 dinilai sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Sementara itu, berdasarkan hasil pemantauan The Wahid Institute sepanjang 2010, ditemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian.
Kasus di atas sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh problem kebebasan beribadah dan beragama di Indonesia. yang menunjukkan negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya.
Terjadinya kasus intoleransi terhadap kebebasan beragama tersebut merupakan suatu paradoks karena Indonesia memiliki sejumlah perangkat peraturan perundang-undangan yang sangat memadai, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Peraturan perundang-undangan tersebut mengamanatkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negaranya, termasuk hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan.
Pembiaran Negara
Terjadinya tindakan intoleransi kebebasan beragama ini disebabkan tidak adanya peran negara untuk melakukan pencegahan terjadinya gangguan, penyerangan, bahkan penghentian aktivitas ibadah pemeluk agama tertentu yang dilakukan sekelompok masyarakat. Hal inilah yang dialami jemaat HKBP Pondok Timur Indah-Bekasi, yaitu pada bulan Juli dan Agustus 2010, di mana sekelompok massa berusaha melakukan kekerasan (gangguan, penyerbuan, dan penyerangan) terhadap jemaat yang sedang melakukan ibadah di tanah milik HKBP itu sendiri, yang terletak di Kampung Ciketing, Bekasi.
Akibatnya, selain Jemaat HKBP tidak bisa melaksanakan ibadahnya, puluhan jemaat yang sebagian besar dari kaum perempuan juga menderita luka-luka. Ironisnya, tangisan dan jeritan jemaat HKBP menjadi tontonan aparat kepolisian yang datang dengan jumlah besar, yang semestinya memberikan pengamanan. Namun mereka malah cenderung membiarkan aksi kekerasan berlangsung.
Demikian juga yang terjadi pada tanggal 12 dan 19 Desember 2010 di Rancaekek, Kabupaten Bandung, terjadi gangguan dan penyerangan oleh sekelompok masyarakat terhadap warga kristiani saat melakukan aktivitas ibadah. Namun, aparat kepolisian yang hadir di lokasi tidak melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya penyerangan tersebut. Jemaat GKI Taman Yasmin-Bogor juga mengalami hal yang sama, di mana saat ibadah Natal 25 Desember dan ibadah Minggu 26 Desember 2010 mengalami gangguan dari sekelompok massa, tetapi aparat kepolisian juga tidak melakukan upaya untuk mencegah, menghentikan, dan menghalangi tindakan massa.
Selain pembiaran negara, terjadinya pelanggaran kebebasan beribadah dan beragama ini juga disebabkan pemahaman keagamaan oleh sekelompok masyarakat yang sangat dangkal dan sempit. Mereka menganggap bahwa komunitas agama selain komnunitas agamanya tidak boleh ada. Pemahaman keagamaannya tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang paham kebangsaan, juga pluralisme (keberagaman).
Peraturan yang Diskriminatif
Terjadinya pelarangan kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan juga disebabkan negara masih menggunakan hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan peraturan daerah (perda) yang bernuansa agama. Peraturan perundang-undangan ini sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, khususnya bagi umat kristiani. Peraturan bersama pendirian rumah ibadah, misalnya, sangat menyulitkan umat kristiani untuk mendirikan rumah ibadah karena persyaratan-persyaratan yang sangat sulit dipenuhi.
Hal ini misalnya persetujuan 60 orang warga yang disetujui kelurahan dan 90 orang pengguna rumah ibadah (Pasal 14). Padahal, dalam realitasnya ada juga gereja tertentu yang jumlah anggotanya di bawah 90 orang. Itu sebabnya peraturan bersama dua menteri ini dikategorikan sebagai peraturan yang diskriminatif, bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 juga patut dipertanyakan karena hanya mengakui enam agama yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Konfusius). Hal ini disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, bahwa agama-agama yang dipeluk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Confusius).
Ketentuan yang membatasi hanya enam agama sebagaimana disebutkan di atas merupakan hal yang diskriminatif terhadap terhadap pemeluk agama lainnya, seperti penghayat kepercayaan. Sebab, undang-undang ini mengutamakan keenam agama tersebut. Dalam persfektif hak asasi manusia, negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui pemberlakuan hukum dan penegakan hukum (violence by judicial). Oleh karena itu, banyak kalangan menghendaki peraturan perundang-undangan yang diskriminatif itu segera dicabut.
Paparan di atas merupakan potret buruk kebebasan beragama di Indonesia sepanjang tahun 2010. Hal itulah yang mesti menjadi refleksi di akhir tahun 2010 ini, demi menuju tahun 2011 yang lebih baik, bermartabat, dan menghargai keberagaman. Momentum ini seharusnya dijadikan evaluasi oleh semua elemen bangsa untuk merawat dan melestarikan keberagaman/pluralisme/kebinnekaan sebagaimana diamanatkan Pancasila dan konstitusi. Secara khusus, momentum ini juga seharusnya menjadi pembelajaran untuk dapat memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara dalam melaksanakan ibadahnya, agamanya, dan keyakinannya. Tanggung jawab ini dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum dan kebijakan yang menciptakan rasa aman bagi warga negara dalam melaksanakan ibadah, agama dan, keyakinannya itu.
Penulis adalah Kuasa Hukum HKBP Pondok Timur Indah-Bekasi, anggota Tim Pembela Kebebasan Beragama/ Sekretaris Ut Omnes Unum Sint Institute.
Sumber : sinarharapan
Ratusan warga di Kelurahan/Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu.