Makna terdalam kedatangan Sang Juru Selamat untuk zaman ini adalah untuk menegaskan kembali semangat-Nya melawan ketidakadilan dan penindasan. Perlu habitus baru untuk melawan ketidakadilan yang sudah membudaya ini.
Natal harus bermakna di tengah-tengah ketidakjelasan masa depan bangsa. Ini karena orientasi kehidupan berbangsa dan bernegara sedang disandera oleh kekuatan “siluman” yang memiliki kemampuan menyetir kebijakan negara. Kemampuan yang luar biasa itu yang membuat bangsa ini tak mampu lepas dari belenggu masa lalu.
Masa lalu yang dipenuhi dengan kerangka berpikir manipulatif masih menjadi bagian dari habitus elite politik untuk menipu warga negara. Dalam posisi seperti inilah kekuasaan politik cenderung tidak memiliki lagi daya nalar yang sehat. Tragedi inilah yang menjelma bentuk ketidakadilan di segala hal.
Seakan kita kehilangan akal sehat untuk hidup dalam zaman yang normal. Zaman yang ditandai dengan tertib hukum yang terjelma dalam tertib sosial tiba-tiba hilang dalam ingatan bangsa ini. Ingatan akan kebersamaan menjadi sirna ketika anak-anak bangsa ini menjadi buas saling menerkam. Kita hampir mengalami kehancuran keadaban publik yang hampir sempurna.
Dengan menyatakan kehancuran keadaban publik, kita menegaskan bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya soal sekitar pribadi, sekitar bagaimana menjadi manusia yang berperilaku baik. Tetapi lebih jauh dari sekadar itu adalah bagaimana mengusahakan hal-hal yang baik secara perorangan, sekaligus juga menciptakan iklim, lingkungan dan suasana yang kondusif bagi kesejahteraan bersama. Ini penting dilakukan, misalnya melalui tata kelola badan-badan publik, penyelenggaraan tata ekonomi, serta pengembangan kehidupan bersama dalam masyarakat, dalam berbagai sektor.
Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini sudah demikian parah. Masalah korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan menjadi warna gelap kebangsaan ini. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik kita tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban.
Kesuraman masa depan itulah yang harus kita hadapi bersama, terutama bila kita masih memiliki orientasi hidup untuk menuju keberadaban. Kesuraman tanda-tanda masa depan bangsa itulah yang harus segera dipulihkan. Dibutuhkan sebuah orientasi baru untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dan beradab, pro wong cilik yang mayoritas, atau dengan kata lain perlunya dipikirkan bersama-sama setiap langkah untuk merenda habitus baru.
Yang dimaksud dengan habitus baru ini adalah gugusan insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok. Ini berarti kita perlu kembali menata ulang kebiasaan, perilaku, cita rasa sebagai bangsa menuju ruang publik yang benar-benar sehat, tidak ruang publik yang sakit seperti dewasa ini.
Penghayatan Keberimanan
Orientasi ini seharusnya menjadi cara pandang baru bangsa ini. Sebab di situlah makna yang terdalam dalam penantian akan Kedatangan Sang Almasih. Natal harus melahirkan habitus baru berkehidupan ini. Sebagai umat beriman kita wajib ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, bahkan melalui usaha-usaha kecil tetapi konkret seperti menjalin hubungan baik dengan sesama warga demi kesejahteraan bersama. Kita turut menjaga dan memelihara serta melestarikan lingkungan alam ciptaan.
Dalam merayakan Natal, marilah kita memantapkan penghayatan keberimanan kristiani kita, terutama secara batiniah, sambil menghindarkan praktik-praktik ibadat keagamaan kita secara lahiriah, semu dan dangkal. Hidup beragama yang sejati bukan hanya praktik-praktik lahiriah yang ditetapkan oleh lembaga keagamaan, melainkan berpangkal pada hubungan yang erat dan mesra. Orang beriman seharusnya menjadi berkat bagi sesama. Keagamaan jangan hanya terjebak pada “identitas” dan “simbol” serta “rutinitas” dan “formalitas” yang sering maknanya jauh dari aspek kemanusiaan.
Padahal, cahaya terang akan bersinar bila orang beriman tidak sekadar terjebak pada ibadat ritual. Inilah panggilan setiap orang beriman. Beriman tanpa keadilan hanya omong kosong, tidak ada artinya, non sense. Beriman tanpa sebuah tindakan manusiawi berarti mati. Beriman tanpa memperjuangkan keadilan dan kebenaran adalah iman yang keropos.
Ini tuntutan yang tidak bisa ditawar. Seorang yang beriman yang diam dengan segala praktik penindasan, penghisapan, penyelewengan adalah dosa besar. Iman yang hanya dipraktikkan dalam ritualisme belaka, tidak akan bisa membebaskan manusia dari prasangka curiga. Dengan beriman, orang harus keluar dari diri sendiri dan berani menjadi saksi. Natal harus bisa melahirkan solidaritas sebagai habitus baru kehidupan, sebab Natal adalah Terang Sejati bagi kehidupan.
Penulis adalah Sekretaris HAK KWI.
Ratusan warga di Kelurahan/Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu.