Jakarta – Organisasi Islam radikal sebenarnya tak didukung masyarakat. Namun, frustrasi sosial dan alienasi yang dialami warga masyarakat akibat kesenjangan ekonomi membuat intoleransi beragama muncul.
Kehadiran organisasi Islam radikal telah memicu intoleransi ini.
Hal itu menjadi salah satu temuan dalam riset radikalisme agama di Jabodetabek dan Jawa Barat yang dilakukan Setara Institute dan dirilis, Rabu (22/12).
Hadir dalam pemaparan riset tersebut Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, dan peneliti Ismail Hasani.
Dalam riset itu ditemukan toleransi masyarakat Jabodetabek adalah toleransi yang terbatas yang hanya berhubungan dengan relasi sosial. Jika terkait dengan rumah ibadah pada umumnya warga merasa keberatan. Ada kecenderungan warga menolak kebebasan bagi setiap umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah.
Meski demikian, di sisi lain, mayoritas warga Jabodetabek menyatakan ketidaksetujuan terhadap tindakan atau aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Riset ini juga menemukan fakta bahwa organisasi Islam di Jakarta dan Jawa Barat selain memiliki Genealogi dengan radikalisme di masa lampau juga menunjukkan keterkaitan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, satu aktor dan aktor lainnya, dan strategi yang hampir sama.
Organisasi Islam radikal umumnya lahir secara spontan dan dipicu oleh berbagai peristiwa yang dianggap mengancam Islam dan umat Islam.
Organisasi Islam radikal ini memiliki empat agenda utama, yaitu penegakan syariat Islam, pemberantasan maksiat, aliran sesat, dan antipemurtadan/antikristenisasi.
Riset ini dilakukan karen a kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dalam periode 2007-2009 memprihatinkan.
Setara Institute mencatat tahun 2007 terdapat 185 jenis tindakan dalam 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008 naik menjadi 367 tindakan dalam 265 peristiwa dan tahun 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa. Selain melibatkan aktor, negara terkait dengan kekerasan organisasi Islam radikal.
Pemerintah Lakukan Pembiaran
Setara Institute menilai tingginya tindakan kekerasan beragama dan berkeyakinan disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum.
Hal senada sebelumnya disampaikan tokoh Katolik dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Romo Benny Susetyo Pr kepada SH seusai diskusi yang diselenggarakan Moderate Muslim Society (MMS) berjudul “Ketika Negara Membiarkan Intoleransi” di Plaza 1 Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (21/12).
Negara dinilai telah melakukan pembiaran atau intoleransi dalam penanganan kasus kekerasan dalam beragama.
Meningkatnya angka kekerasan dalam beragama menunjukkan adanya pembiaran negara terhadap pelaku kekerasan sehingga pelaku kekerasan itu mendapat hak imunitas, kata Romo Benny.
Seharusnya, tegas Romo Benny, pemerintah bisa bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan dalam beragama, karena kebebasan beragama merupakan hak bagi siapa pun warga negara dan itu dilindungi dan diatur dalam konstitusi. Menurut Benny, apabila dalam konteks kekerasan beragama yang terjadi pemerintah tetap tak bekerja maksimal, ini akan memunculkan balkanisasi.
“Pemerintah harus menindak siapa pun yang melakukan penyegelan rumah ibadah atau yang melanggar kebebasan beragama secara maksimal dengan ditindak dan hukum. Kalau pemerintah membiarkan, ini bisa balkanisasi,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengungkapkan secara kuantitas jumlah tindakan kekerasan selama 2010 mencapai 81 kasus. Menurut Zuhairi, ancaman intoleransi ditahun 2010 cukup mengkhawatirkan sebab pihak yang sejati penjaga toleransi justru menjadi pelaku intoleransi, terutama ormas dan pemerintah.
“Terlebih lagi, tindakan intoleransi ini dilakukan kepada pihak-pihak yang notabene merupakan kelompok minoritas, seperti umat kristiani dan Ahmmadiyah,” kata Zuhairi.
Tak hanya itu, saat ini perkembangan hubungan antaragama pun masih berlangsung penuh kecurigaan, kebencian dan kekerasan. Faktanya, masih banyak gereja yang dicabut izinnya, masjid Ahmadiyah dirusak, penghalangan dan penghentian terhadap kegiatan ibadah kalangan minoritas.
Menyikapi peningkatan intoleransi bergama, Zuhairi pun menyarankan pemerintah melakukan upaya preventif agar tindakan intoleransi bisa diminimalkan sekecil mungkin. Pemerintah sejatinya tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang hendak melakukan dehumanisasi dan agresi meskipun mengatasnamakan agama tertentu.
“Untuk mengatasi eskalasi kekerasan, pemerintah dan DPR hendaknya menginisiasi lahirnya undang-undang antikekerasan yang secara eksplisit tidak memberikan ruang bagi pihak mana pun untuk melakukan kekerasan,” tutupnya.
Secara terpisah, anggota Komisi III Fraksi PDIP Gayus Lumbuun menilai saat ini negara dalam keadaan bencana sosial akibat meningkatnya kekerasan terhadap kebebasan beribadah umat kristiani di banyak daerah. Menurut Gayus, kekerasan yang dilakukan bukan lagi sebatas pengrusakan rumah ibadah, tetapi juga penaniayaan dengan senjata tajam dan penusukan seperti yang terjadi di Bekasi dan Rancaekek, Jawa Barat.
Zuhairi Misrawi, Ketua MMS, menjelaskan dari 81 kasus intoleransi, lebih dari separuhnya yakni 49 kasus atau 61 persen terjadi di Jawa Barat. Di sepanjang tahun 2010 tindakan intoleransi di wilayah Jawa Barat mencapai 49 kasus, Jawa Timur 6 kasus, DKI 4 kasus, dan Sulawesi Selatan 4 kasus.
Dari 81 kasus intoleransi, kasus yang paling sering terjadi adalah 24 kasus penyerangan dan perusakan, 24 kasus penutupan dan penolakan rumah ibadah, 15 kasus ancaman, tuntutan dan intimidasi, 6 kasus penghalangan kegiatan ibadah, 4 kasus diskriminasi karena keyakinan, 3 kasus pembubaran kegiatan atas nama agama, 3 kasus kriminalisasi paham keagamaan, dan 2 kasus pengusiran.
Zuhairi menilai sikap intoleransi terjadi lebih karena kesadaran bernegaranya rendah. Ia mengatakan, kunci dari masalah ini adalah pemerintah harus bersikap tegas terhadap para pelaku kekerasan. Data MMS menyebutkan aksi intoleransi tahun 2010 meningkat empat kali lipat dari tahun 2009 yang berjumlah 11 kasus menjadi 49 kasus. Kasus intoleransi yang terjadi di Jawa Barat sebagian besar terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan.
“Di Bekasi, semua korban kasus intoleransi adalah kalangan kristiani, berupa penghalangan kegiatan ibadah, penyegelan rumah ibadah, dan penyerangan terhadap jemaat HKBP. Sementara itu, di Bogor, dari 10 kasus, 7 kasus juga menimpa kalangan kristiani terkait masalah gereja. Di Garut dan Kuningan semua korban adalah kelompok Ahmadiyah,” kata Zuhairi.
Dari segi pelaku intoleransi, massa yang tidak diketahui dari mana menjadi pihak yang paling sering melakukan tindakan intoleransi, yakni 33 kali. Negara juga melakukan tindakan intoleransi sebanyak 24 kali dan organisasi masyarakat (ormas) sebanyak 23 kali.
“Tiga besar pelaku intoleransi di atas tidak mengalami perubahan dari temuan MMS dalam laporan akhir tahun 2009. Pemerintah daerah atau pemerintah kota, polisi, dan Satpol PP merupakan tiga aparatur negara yang paling sering melakukan tindakan intoleransi,” kata Zuhairi.
Aksi intoleransi yang meningkat eskalasinya, kata Zuhairi, disebabkan adanya pembiaran dari Pemerintah Daerah terhadap tindakan intoleransi di Jawa Barat. “Diakui juga bahwa ada peningkatan kelompok yang mengutamakan kekerasan di Jawa Barat. Kelompok ini mesti diajak berdialog untuk memahami kemajemukan ,” ujarnya.
Sumber : sinarharapan
Ratusan warga di Kelurahan/Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu.