Seruan untuk mencabut Peraturan Bersama Rumah Ibadah mengemuka pada acara "Sikap Tokoh Agama Sikapi Penyelewengan Konstitusi di Indonesia" di Graha Bethel, Jakarta, Senin.
Dalam acara yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) ini sejumlah kalangan dan hamba Tuhan menyatakan prihatin dengan intensitas perusakan, penutupan paksa bahkan pembakaran rumah ibadah yang semakin meningkat dan terjadi penyelewengan Konstitusi sejak era reformasi.
Data FKKJ mencatat sekitar 1.200 gereja diserang sejak era kemerdekaan Indonesia, diantaranya sejumlah 700-an terjadi setelah SKB 2 Menteri diluncurkan pada tahun 1969 sampai kini pada era reformasi. Pada zaman Soekarno, hanya ada dua gereja yang dibakar.
Prof. Dr. T.Gayus Lumbuun, S.H, M.H. anggota DPR RI yang hadir mengatakan peningkatan kasus perusakan tempat ibadah sudah mengkhawatirkan jaminan Kebhinekaan dan keutuhan NKRI. Kejadian ini, menurutnya, mengingkari jaminan konstitusional terhadap hak-hak warga dan merobek prinsip bhineka tunggal ika, pluralisme dan toleransi.
"Persoalan pendirian rumah ibadat perlu disikapi dari perspektif HAM, Hukum dan Politik," ujarnya. Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945, katanya, menuliskan dengan jelas soal hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Selain itu, pasal-pasal itu bermakna setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya.
Dari sisi perspektif Pemerintah, wakil rakyat ini mengatakan, negara berkewajiban melindungi warga negara dalam melaksanakan ajaran agamanya dan bermakna menyediakan fasilitas dan menjamin beribadat. "Negara tidak dibenarkan membuat peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa," katanya.
Dia menilai PBM mengandung pasal-pasal yang menghambat hak-hak dasar kehidupan beragama. Ia menyebutkan, Pemerintah berkewajiban melindungi setiap penduduk melaksanakan ajaran agama, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
"Tanggung-jawab negara menjadi kecil dan sederhana. Urusan agama menjadi tanggung-jawab Pemerintah Daerah, bukan Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan judul PBM "Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah," katanya. Ia menambahkan, PBM melahirkan tindakan pembiaran oleh Pemerintah terhadap keterlibatan ormas-ormas keagamaan tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan.
Tentang Pasal 14 ayat (2) b yakni dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang dan mendapatkan pengesahan dari Lurah atau Kepala Desa setempat, hal ini menurutnya, memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok mayoritas. "PBM ini harus direvisi dan menjadi Undang-Undang,"ujarnya.
Mencabut PBM dan kembali ke Konstitusi UUD 1945 merupakan pokok pikiran Ketua FKKJ Jawa-Barat John Simon Timorason. Menurutnya, hal itu merupakan kendala bagi pembangunan rumah ibadah.
"Perber belum disosialisasikan ke tingkat RT, RW sehingga mereka banyak yang belum mengerti soal ini," katanya.
Sementara itu, Cornelius Ronowidjoyo, Ketua Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) menilai, Perber tidak masuk dalam struktur hukum Indonesia. Menurutnya, hirarkis tertinggi adalah Pancasila, UUD 1945, Perpu, Perpres dan Perda. "Saat ini diperlukan RUU Kebebasan Beragama, bukan RUU Kerukunan Umat Beragama. UU tidak boleh diskriminatif," ujarnya.
Pembicara lainnya Kriskaitimu dari Pusat Kajian dan Edukasi Masyarakat (Pakem) berpendapat, kesalahan mendasar ialah sila pertama Pancasila dipahami sebagai sila keagamaan. "Hal ini menimbulkan pemikiran ada negara agama atau agama negara," ujarnya. Tugas negara bukan mengatur urusan agama, SKB 2 menteri tahun 1969 dan PBM melanggar HAM atas kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945. Pemerintah sedang melakukan pembiaran atas hak kebebasan beragama dan ini termasuk kejahatan, tegasnya.
Sedangkan Anton Lesehani, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI mengatakan, para hamba Tuhan sebaiknya mengadukan masalah ini (PBM dan lain-lain) kepada Tuhan Yesus saja. Menurutnya, masalah ini tidak bisa diselesaikan secara hukum dan Pemerintah sudah melakukan penyelewengan Konstitusi.
Sumber: GBI Kapernaum
Ratusan warga di Kelurahan/Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu.