Misionaris Amerika Phillip Foxwell dengan "pamannya" Hidemasa Endo, istri Endo, putri mereka Ayumi, dan cucunya. Foxwell, yang dibesarkan di Jepang, mengunjungi zona bencana beberapa hari setelah gempa berkekuatan 8,9 dan tsunami melanda Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 untuk menilai kerusakan dan mencari teman-teman masa kecilnya. (Foto: Foxwell Phillip)
Tiga hari setelah tsunami menggoncang prefektur Miyagi di Jepang, misionaris Amerika Phillip Foxwell mengendarai truknya ke zona bencana untuk mengakses kerusakan. Besar di Jepang, Foxwell memiliki teman-teman masa kecil di antara penduduk setempat - yang ia kuatirkan telah meninggal.
Saat mengamati kehancuran, ia menemukan sebuah fragmen. Di sepotong kayu dia melihat karakter, 'Shu Wa Waga' (Tuhan adalah saya), dan menduga keseluruhan kalimatnya adalah, " Tuhan adalah Jalan saya."
"Anda tahu Jepang tidak memiliki banyak referensi Alkitab dalam bentuk apapun," katanya dalam sebuah kesaksian yang ditaruh di YouTube. "Saya bahkan tidak tahu bagaimana ini [fragmen] tertangkap mata saya."
Mayoritas Jepang mengidentifikasi diri mereka sebagai Buddhis atau Shinto, sementara hanya 1,5 persen dari total penduduk nasional dianggap Kristiani.
Pada tanggal 11 Maret, gempa bumi 8,9 skala Richter menghasilkan gelombang laut yang meratakan banyak kota. Diperkirakan sedikitnya 10.000 orang tewas atau hilang. Selama guncangan, empat pembangkit nuklir kehilangan tenaga dan pada hari Jumat ancaman krisis nuklir telah mencapai level 5 (dari 7). Ibukota Tokyo menjadi seperti kota hantu dengan puluhan ribu orang yang mengungsi karena takut keracunan radioaktif.
Masyarakat internasional, termasuk pemerintah dan organisasi non-pemerintah (LSM), telah mengirim tim penyelamat dan pasokan beberapa hari setelah gempa. Tim militer AS mengizinkan pengiriman pasokan melalui udara setelah membersihkan bandara Sendai di Prefektur Miyagi - daerah yang paling dekat dengan pusat gempa.
Namun, rute darat tetap merupakan jalur langsung ke wilayah yang terkena bencana. Banyak jalan telah dibuka dalam beberapa hari terakhir, sehingga dapat memfasilitasi aliran persediaan.
Pelayanan Kristiani di Jepang
Umat Kristiani telah bermobilisasi bersama entitas non-pemerintah dan pemerintah untuk membawa bantuan yang sangat dibutuhkan para korban.
Salah satunya adalah CRASH (Christian Relief, Assistance, Support and Hope), yang mengkoordinasikan bantuan di antara gereja-gereja Jepang. Organisasi ini bekerja sama dengan Aliansi Injili di Jepang (JEA) dan Asosiasi Misionaris Injili di Jepang (JEMA).
"CRASH adalah jaringan bantuan yang tiada duanya di Jepang. Tidak ada lembaga lain yang mampu menilai kebutuhan di lokasi seperti CRASH, dan kemudian mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kebutuhan tersebut," kata Presiden JEMA Dale Little.
"Keefektivitasan CRASH termasuk hubungan yang erat dengan gereja-gereja lokal di Jepang."
Korban gempa yang tidak bisa mengungsi disiapkan tempat penampungan darurat dan tenda-tenda di bukit-bukit yang menghadap lokasi bencana. Warga harus mengantri lama di pasar-pasar hanya untuk mendapatkan kebutuhan sederhana.
"Ada 150 orang mengantri di toko kelontong hanya untuk mi instan, beras, dan kertas toilet," kata petugas CRASH Bola Taylor. " Semua rak kosong - sangat menakutkan. "
Sejak hari Kamis, tim CRASH mendirikan base camp pertama di sebuah TK di Sendai, ibukota Prefektur Miyagi. Rute tim berjarak 40km dari reaktor nuklir. CRASH akan mengirimkan dua kontainer dengan beras dan produk kedelai yang cukup untuk membuat 500.000 makanan. Namun, sumbangan seperti ini membutuhkan sumber daya yang signifikan untuk mendistribusikannya, kata juru bicara CRASH. Organisasi itu terus mencari dana tambahan untuk bekerja di wilayah ini.
Selain menangani kebutuhan fisik, koordinator CRASH menyuarakan keinginan untuk melakukan pekerjaan rohani di Jepang.
"Banyak dari kita bertanya-tanya bagaimana kita dapat menanggapi berita tentang gempa bumi dan tsunami yang telah menghancurkan Jepang," kata Jonathan Wilson, direktur CRASH Jepang. "Saat layar televisi terus menayangkan berbagai gambar, kami mencurahkan hati kami pada Sang Pencipta untuk mengurus bangsa yang besar ini."
Tiba di daerah bencana, Phillip Foxwell merasa lega dapat menemukan wajah-wajah akrab di antara para korban.
"Banyak tetangga seperti layaknya paman dan bibi bagi saya," kata Foxwell. "Saya menduga akan menemukan dua puluh lima teman telah meninggal - tapi saya malah menemukan mereka semua duduk bersama-sama di tempat penampungan."
Dia menyimpulkan, "Tidak pernah saya mengalami begitu banyak emosi dan berpelukan seperti itu di Jepang. Salah satu momen paling bahagia dalam hidup saya."
Ratusan warga di Kelurahan/Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu.