Tokoh politik Mesir saat mengheningkan cipta untuk korban bentrokan sektarian, 10 Oktober 10, 2011. (Reuters/Mohamed Abd El-Ghany)
Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir telah mengeluarkan keputusan akan memberikan denda kepada siapa saja yang melakukan praktek diskriminasi, termasuk diskriminasi agama, dalam upayanya mengalihkan perhatian negatif terhadap pemerintahan militer Mesir.
Keputusan itu dikeluarkan oleh Hussein Tantawi, Ketua Dewan Tertinggi Mesir Angkatan Bersenjata, Minggu.
Artikel 161 berbunyi: "Setiap orang yang melakukan tindakan apapun yang dapat menyebabkan diskriminasi agama, jenis kelamin, ras, bahasa atau diskriminasi antara individu-individu; atau melawan sekte, dipidana dengan pidana penjara setidaknya tiga bulan, dan didenda dari 30.000 EGP sampai 50.000 EGP."
Jika dikonversi sekitar Rp. 44juta - 74 juta.
Keputusan ini juga menentukan jika pegawai negeri sipil/masyarakat yang mendiskriminasikan akan dikenakan biaya £100.000 Mesir, atau sekitar Rp. 148 juta.
Meskipun bagaimanapun juga merupakan langkah maju untuk kesatuan Mesir sejak bentrokan berdarah di Kairo dua minggu lalu, umat Kristiani Koptik berpendapat bahwa ini hanyalah sebuah langkah kecil dalam perjalanan menuju toleransi beragama.
"[Keputusan] ini tidak cukup untuk meredakan ketegangan sektarian," kata Ishaq Asaad, pengacara Inisiatif Mesir untuk Hak Pribadi kepada surat kabar Daily News Mesir.
"[Ini] terbatas tapi langkah simbolik yang positif," pendapat Hafez Abu Saada, kepala Organisasi Hak Asasi Manusia Mesir.
Berbagai negara telah berbicara menentang komunitas sektarian Mesir.
Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (USCIRF) mengeluarkan pernyataan pada Selasa, 11 Oktober, meminta "penyelidikan menyeluruh, imparsial, dan independen untuk memastikan bahwa para pelaku diadili di pengadilan sipil."
USCIRF juga minta "pasukan militer Mesir bertanggung jawab karena menggunakan kekuatan berlebihan."
Saat menanggapi kekerasan yang mungkin akan terjadi lagi, menteri luar negeri Jerman, Guido Westerwelle, berkomentar: "Sudah waktunya kepemimpinan Mesir memahami pentingnya pluralitas agama dan toleransi."
Umat yang berduka menyalahkan tentara Mesir untuk angka kematian yang tinggi, 27 orang, beragumen demo Kristiani benar-benar damai sampai militer mulai bertindak keras. Dilaporkan dalam bentrokan terlihat ekstremis Islam bergabung dengan serangan terhadap orang Kristiani, dan bahkan melihat sebuah kendaraan militer menerobos langsung ke kerumunan demonstran.
Beberapa aktivis hak asasi manusia melaporkan personil militer menembak langsung ke kerumunan demonstran.
Kekerasan meletus di Kairo dua minggu lalu ketika orang Kristiani berkumpul untuk memprotes pembakaran sebuah gereja Koptik di Aswan Selatan yang berlangsung pada 30 September. Pembakaran dilakukan diduga dilakukan oleh garis keras Muslim setempat yang mengklaim gereja tidak memiliki izin untuk pembangunan kubah.
Umat Kristiani menuduh baik televisi negara dan militer membuat demonstran damai Kristiani tampak seperti agresor.
Pemimpin militer Mesir mengadakan konferensi darurat dengan para pemimpin Kristen pada Senin 10 Oktober untuk membahas perdamaian dan kompromi.
Negara-negara yang prihatin setuju pemilu mendatang di Mesir penting untuk masa depan negara itu, terutama bagi mereka yang mempraktekkan ke-Kristenan di Mesir.
Menurut laporan, pengadilan militer yang saat ini menjalankan pemerintahan mengklaim akan mundur setelah pemilihan mencalonkan pemimpin baru.
Umat Kristiani berjumlah sekitar 10 persen dari 80 juta populasi Mesir. Selama beberapa bulan terakhir, mereka cemas akan masa depan mereka di negara itu, karena kelompok Islam bawah tanah yang masih aktif atau tidak aktif selama pemerintahan presiden Hosni Mubarak yang telah digulingkan, menjadi lebih aktif secara sosial dan politik setelah jatuhnya rezim dalam "Revolusi 25 Januari."
Wali Kota Bogor Diani Budiarto dilaporkan Ombudsman Republik Indonesia ke Presiden dan DPR karena tidak melaksanakan rekomendasi untuk mencabut larangan beribadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin,